Aku tercekat mendengar ucapan Tony padaku. Tidak ada yang dapat kupahami dari setiap perkataannya. Semuanya terdengar omong kosong bagiku.
Dia melangkah keluar dengan tatapan sinisnya. Kulihat Fajar mendekat padaku setelahnya.
Langit berusaha menenangkanku dalam pelukannya. Namun, semuanya sia-sia. Kesedihanku tidak terbendung.
Kurasakan Fajar meraih lenganku. Melepaskan pelukanku dari Langit. Kutepis lengannya dengan cepat.
Kuraih krah di lehernya dan membuat tubuh kami lebih dekat. Mata kami beradu. Tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulut kami.
Seluruh tubuhku bergetar. Menyadari bahwa Ayahnya telah bersiap mengeksekusi keluargaku. Bahkan Jonathan.
“Tony membunuhnya … kau pasti sudah mengetahuinya, bukan? Kau lelaki paling buruk yang kukenal Fajar!”
“Senja … dengarkan aku!”
“Tidak Fajar. Kau menyadarinya saat itu! Kau membeku saat aku sadar itu adalah adikmu. Kau mengetahuinya, Fajar. Mengapa kau diam saja, huh? Mengapa?!”
“Maafkan aku …”
Tangisku pecah seketika mendengar ucapan lirih keluar dari mulut Fajar. Oh, Tuhan … semuanya benar. Mereka menculik dan membunuh Jonathan.
Tangisku menggila di hadapan lelaki dengan tato bintang mengelilingi pergelangan tangannya. Fajar hanya terdiam dan menerima pukulan kecilku di dadanya.
Langit yang berusaha menenangkanku tidak mengubah apapun. Akhirnya dia membiarkanku menangis sepuasnya.
Kurasakan Fajar bangkit dan menjauh dariku. Meskipun mataku tertutup telapak tanganku, aku dapat merasakannya.
Aku tidak kuasa menatapnya. Sungguh kebencian yang tumbuh dalam diriku melebihi apapun untuknya saat ini.
Langit tetap berada di sisiku untuk waktu yang lama. Kesetiannya mendengarkan tangisanku seharusnya aku apresiasi.
Namun, jiwa ragaku terlalu lelah melakukannya. Tangisanku tidak mereda seiring berjalannya waktu.
Aku bahkan tidak menyadari jika aku terlelap dalam kesedihanku. Saat aku membuka mata, kudapati diriku terbaring di lantai. Jaket hitam yang sebelumnya dikenakan Langit menyelimuti tubuhku.
Ruangan ini tidak sempit tetapi sangat gelap. Dan aku membencinya. Lampunya juga terlampau sangat kecil. Lampu yang bersinar dengan warna kuning itu mengingatkanku akan Jonathan.
Jonathan selalu mengeluh terkait lampu di kamarnya. Dia sangat membenci lampu yang kecil dan redup. Dia yang paling rewel saat kami terjebak di dalam ruang bawah tanah.
Jonathan Senja Ivanka. Aku dan Jonathan berbagi nama yang sama seumur hidup kami.
Ayah mengatakan itu adalah berkah yang tak ternilai jumlahnya. Terlebih, kami berbagi ruangan yang sama dalam kandungan Ibu.
“Ah … aku merindukannya. Semoga kau beristirahat dalam damai.”
Diam-diam aku mendoakan Jonathan meski masih terisak dalam tangisanku. Tak kuasa aku menahan air mataku lagi.
Kehilangan ini meninggalkan kepedihan yang tidak terbendung.
“Code Blue! Code Blue! Serangan di ruangan Ivanka. Mereka berhasil membawa nyonya Ivanka. ”
Jantungku terhenti mendengar suara intercom dari para Trops di luar. Astagaa … Ayaah … Ibu ….
Aku merangkak dengan cepat ke arah pintu. Kutempelkan telingaku lekat-lekat pada pintu kayu itu.
Kudegar beberapa langkah para Trops menjauh dari ruanganku dengan cepat. Beberapa saat kemudian kurasakan ketenangan yang tidak pernah kudengar.
Aku berusaha membuka pintu. Namun, itu terkunci. Sekuat tenaga aku mendobraknya. Tetap tidak menghasilkan apapun.
Material kayu pintu sepertinya lebih tebal dari dugaanku. Aku berpikir keras tetapi tidak menemukan apapun.
Kepalaku menengadah ke langit-langit plafon. Meskipun tidak yakin, aku menyingkirkan semua barang di atas meja.
Perlahan aku menaiki meja. Berusaha meraih plafon. Tanganku berhasil menyentuhnya. Aku tersenyum pelan tetapi itu tidak cukup.
Aku harus bisa menghancurkannya. Mataku memeriksa ke seluruh ruangan.
“Aku harus menemukan sesuatu yang dapat menghancurkan dinding plafon.”