Langit Fajar Ujung Senja

Susanti
Chapter #14

Bagian 14

Wangi lavender. Ah … rasanya sudah lama sekali aku tidak menghirup segarnya aroma lavender.

Setelah pemberontakan dan penjarahan di lingkunganku, hanya bau apek yang kukenali. Aromanya memenuhi ruang bawah tanahku kala itu.

Beberapa hari setelahnya, hanya debu yang kuhirup saat menuju Camp. Situasi di dalam Camp juga lebih buruk dari dugaanku.

Hanya ada aroma debu bercampur dengan bubuk mesiu. Itu sangat memekakkan hidungku.

Setelahnya, aku beruntung dapat menghirup bau hutan. Semak kering, tanah yang tandus, dan kayu yang kering. Aroma mereka cukup menenangkanku.

Namun, semua itu menghilang dengan cepat. Secepat aku meluncur bebas dari ketinggian dan terperosok ke jurang malam itu.

Setelahnya, hanya tersisa bau infus yang menjalar ke seluruh tubuhku. Parahnya, bau apek yang kubenci muncul lagi. Tepat setelah tragedi penembakan di ruanganku.

Perbedaan besarnya adalah … aku menghirupnya sendirian. Tanpa Ayah … Ibu … dan Jonathan di dekatku.

Hal itu membuatku terhenyak. Napasku terasa sangat berat. Jantungku terasa sakit tertusuk sesuatu yang sangat tajam.

Sekuat tenaga aku mencoba membuka mata. Berusaha terbangun dari rasa tertekan yang menyelimutiku.

“Haahh …!!!”

Napasku terengah-engah saat aku berhasil membuka mata. Keringat dingin kurasakan membanjiri tubuhku.

Rambutku terasa basah akibat peluh yang menjalar hingga ubun-ubunku. Butuh beberapa saat untuk menguasai diriku kembali.

“Oh ….”

Ruangan ini tampak asing bagiku. Terasa sangat bersih dan … cantik. Jajaran bingkai foto berisi lukisan abstrak terpampang di ujung dinding.

Kusadari ranjangku kali ini lebih empuk. Seprai dan selimut serba putih ini membuatku berpikir keras. Terasa sangat nyaman bagi siapapun yang berada di atasnya.

“Apakah aku bermimpi?”

Bajuku telah berganti. Sebelumnya serba hitam. Bau fabric-nya bahkan memekakkan hidungku kala itu.

Perlahan aku menuruni ranjangku. Tubuhku merinding saat ujung kakiku merasakan dinginnya lantai berwarna kehitaman.

Cermin besar seukuran tubuhku berdiri kokoh di ujung ruangan. Kulihat diriku dalam dalam balutan gaun malam serba biru.

Kutempelkan tanganku pada cermin itu perlahan. Oh … ini terasa nyata.

Rak dipenuhi jejeran buku yang bersebrangan dengan cermin mengalihkan pandanganku. Sebuah meja terpasang rapi di sana. Menempel kuat pada rak itu.

Satu hal yang membuatku terkejut adalah cahaya yang memenuhi ruangan. Ah … itu berasal dari jendela besar itu.

Baru kali ini aku menemukan jendelaseukuran itu. Besarnya dua kali lipat jendela di ruang keluargaku.

Aku berlari menuju jendela itu. Sinar matahari yang menyentuh kulitku menghangatkan tubuhku. Seolah itu merasuk ke dalam jiwaku seutuhnya.

Entah berapa lama aku akan menghirup udara yang bersih ini. Hanya debu tebal yang kurasakan sebelumnya. Belum lagi panasnya yang telak membakar kulitku.

Bibirku merekah saat kudapati jendela itu dapat kubuka dengan sempurna. Pemandangan rumput hijau yang terbentang di bawah sana menjadi hal baru bagiku.

Beberapa pot kecil dihiasi bunga warna-warni di sekitarnya membuatku ingin meraihnya. Pepohonan yang besar melindungi pot kecil dari matahari.

Kepalaku menoleh dengan cepat saat menyadari seseorang membuka pintu.

“Oh … kau … sudah bangun? Sungguh melegakan. “

Seorang perempuan berambut putih membeku saat melihatku. Sesaat kemudian, dia bergegas menghampiriku di teras balkon.

Lihat selengkapnya