Langit Fajar Ujung Senja

Susanti
Chapter #15

Bagian 15

Malam yang kulalui tidak sepenuhnya gelap. Sinar bulan yang cukup menerangi langkahku.

Sepi dan sendiri membuatku sedikit gusar. Hanya suara jangkrik yang menemaniku berlari. Terengah-engah menyusuri jalan berbatu nan terjal.

Kuayunkan kembali langkah kakiku meski terasa lunglai. Kakiku mulai gemetar saat kucoba berhenti.

Helaan napasku semakin tidak beraturan. Tanpa kusadari aku gagal mempertahankan keseimbanganku.

Tubuhku tersungkur dengan cepat membentur apapun di sekitarnya. Perih kurasakan saat kakiku tergores bebatuan kasar itu.

Darah yang mengalir lebih banyak dibanding goresan aspal yang kuterima sebelumnya. Jalanan penuh bebatuan terjal ini membuatku kesal.

Aku memaksakan diriku untuk bangkit kembali. Kakiku lebih lunglai dari sebelumnya. Getaran hebat di lututku bahkan membuatku sulit berdiri.

Aku memutuskan untuk berjalan lebih pelan. Sesekali kulihat ke belakang. Berjaga-jaga jikalau seseorang mengejarku.

Namun, ini sangat tenang. Ketenangan ini menimbulkan berbagai pertanyaan di benakku.

Pertama, lingkungan ini sangat asing bagiku. Kemana perginya semua orang?

Kedua, tidak ada para Trops yang biasa menjagaku bergantian. Kemana perginya mereka? Apakah mereka pergi menjauh dariku? Atau sebaliknya?

Ketiga, rumah besar itu berisi Tony Fajar di dalamnya. Namun, tak ada satupun Trops yang muncul di sekeliling rumah. Bagaimana mungkin?!

Berbanding terbalik dengan semua ketenangan ini. Pikiranku semakin tidak tenang. Aku tidak menemukan jawaban apapun. Sekeras apapun aku memikirkannya.

Dalam kelelahan dan kebingungan itu, aku menyadari sesuatu. Kurasakan sinar bulan mulai menggelap.

Kupandangi langit malam yang mulai diselimuti awan hitam perlahan. Aku tidak yakin. Namun, aku berharap tidak akan turun hujan malam ini.

Hanya selang beberapa detik setelah aku menatapnya. Kurasakan tetesan air jatuh dari langit. Tepat mengenai di pipiku.

Satu tetes. Dua tetes. Dan … terlalu deras untuk kutahan tanpa pelindung.

“Aargh! Tidak sekaraang …!”

Sembari menggerutu aku berlari perlahan. Pohon kelapa terdekat menjadi sasaran tempatku berteduh.

“Hujan sialan ini! Mengapa harus sekarang,huh?”

Tubuhku mulai basah kuyup dalam sekejap. Perlahan tanganku terasa membeku. Tubuhku menggigil tanpa kusadari.

Aku terus menggerutu dalam diam. Aku sadar ini tidak berguna. Namun, tidak ada yang dapat kulakukan saat ini.

“Tuhaan … tidak bisakah kau biarkan aku sejenak?”

Hujan deras tidak kunjung berhenti. Entah sampai kapan aku menunggunya. Berlindung di bawah pohon ternyata tidak serupa dengan novel yang kubaca.

Seluruh tubuhku tetap basah kuyup. Ini membuatku semakin kesal. Terlebih lagi, lingkungan yang tampak seperti hutan ini membuat bulu kudukku merinding.

Tubuhku yang menggigil pun mulai bersin-bersin.  Berapa kalipun aku menyeka hidungku, ingusku tak kunjung berhenti.

“Aaarghh … ini sungguh tidak menyenangkan.”

“Tentu saja tidak menyenangkan. Lihatlah, kau basah kuyup!”

Tubuhku membeku mendengar suara familiar yang menjawabku. Fajar berlari mendekat padaku. Oh, aku tidak berhalusinasi bukan?

Kekhawatiran dalam ekspresinya dapat kutangkap. Meskipun dalam gelap, raut wajahnya terlihat sangat terang bagiku. Terlebih saat dia mendekat padaku.

Payung di tangan kirinya segera diulurkan padaku. Senter di tangan kanannya segera dia kaitkan ke tangan kiriku.

Fajar bergegas memakaikan jas hujannya padaku. Senyumku merekah tanpa kusadari.

Oh, Tidak! Apakah aku baru saja tersenyum? Kuharap Fajar tidak menyadarinya.

Lihat selengkapnya