Langit Fajar Ujung Senja

Susanti
Chapter #16

Bagian 16

Hujan yang membasahi bumi tak kunjung mereda. Meskipun Fajar telah membawaku kembali ke rumahnya, hatiku masih sedingin cuaca di luar.

Tubuhku menggigil meskipun aku telah membersihkan diriku dalam air hangat. Kuambil selimut yang tertumpuk rapi di ranjangku perlahan. Kemudian aku tenggelam di dalamnya.

Beberapa saat kemudian, sepertinya aku mendengar suara Fajar yang membangunkanku. Namun, aku tidak bergeming. Aku terus terlelap hingga pagi menyapa.

Keesokan harinya, kulangkahkan kakiku menuruni lantai tangga yang dingin. Kulihat jam menunjukkan angka enam lima belas.

Aku terhenyak mendapati Fajar yang sudah menghirup cangkir di tangannya. Dia tampak termangu di ruang makan.

Aku muncul dari balik tembok di dekat tangga. Tampaknya kehadiranku membuat keterkejutan yang sama pada dirinya.

“Oh … kau sudah bangun? Coba kulihat …”

Fajar berlari mendekat padaku yang mengangguk pelan. Tangannya yang dingin ditempelkan pada keningku.

Jantungku hampir melompat keluar karenanya. Entah karena gugup, atau hal lainnya.

“Oh … dingin.”

Tubuhku bereaksi dengan cepat saat merasakan sentuhannya. Aku tidak ingin dia mendengar detak jantungku yang terlampau kencang. Ritmenya bahkan tak beraturan.

Fajar tersenyum pelan sebelum melepaskan tangannya dari keningku. Sementara itu, aku berusaha sekuat tenaga untuk menyembunyikan kegugupanku.

“Ah … maaf. Aku pikir kau masih demam. Badanmu masih terasa hangat.”

“Aku baik-baik saja.”

“Duduklah. Fatimah belum datang. Aku akan membuatkan teh hangat untukmu. Apakah tidak masalah?”

“Hum … thank you.”

Keheningan kembali menyelimuti ruangan. Ini sangat kikuk bagiku. Namun, Fajar terlihat santai.

Lelaki itu tampak sibuk dengan cangkir dan termos di hadapannya. Perlahan kucoba memecahkan keheningan ini.

“Jadi … namanya Fatimah?”

“Hum?”

“Wanita yang kutemui kemarin. Tidakkah beliau terlalu tua untuk membantumu disini?”

“Ah … benar. Fatimah sudah membantu keluargaku sejak Ayah masih muda.”

“Aku mengerti.”

“Minumlah sedikit. Ini akan membantumu menghangatkan tubuhmu.”

“Hum …”

Tanganku menggenggam cangkir yang diulurkannya padaku. Terasa hangat di cuaca yang dingin menusuk tulang.

Perlahan kuseruput air dari cangkir teh. Rasa manisnya gula membuatku berhenti.

“Urgh … ini terlalu manis.”

“Ah … kau tidak menyukainya? Berikan padaku. Akan kubuat kembali.”

“Tidak perlu. Aku baik-baik saja.”

“Kau yakin?”

“Hum … aku hanya perlu menambahkan air saja.”

“Baiklah …”

“Aku tidak menyangka pagi di sini akan sedingin ini.”

“Kau akan terbiasa.”

Mataku terhenti menatap cangkir tehku. Segera kualihkan pandanganku tepat pada Fajar yang duduk di seberangku.

“Sampai kapan kau akan mengurungku disini?”

“Aku tidak mengurungmu, Senja. Kau boleh pergi kemanapun. Tapi tidak seperti semalam.”

Alisku berkerut dengan cepat. Namun pandanganku tidak kulepaskan darinya.

“Um … setidaknya … kau harus memberitahuku kemana kau akan pergi.“

Lihat selengkapnya