Tidak pernah sekalipun aku mendengar tentang Langit. Hubungan kami merenggang begitu saja.
Setelah aku berangkat ke Cambridge pun tidak ada yang berubah. Bahkan jauh sebelum itu. Kami sudah merasakan kejanggalan itu.
Sekitar lima tahun yang lalu … Langit selalu menghindariku. Aku merasakannya. Terlebih saat aku memutuskan untuk kembali menyelesaikan kuliah sarjanaku.
Kami jarang bertegur sapa. Padahal kami berada di kampus yang sama. Juga kembali tinggal di lingkungan yang sama.
Tidak ada satupun dari kami yang mengerti. Mengapa kami selalu beradu argumen setiap kali bertemu.
Segera setelah Tony selesai bicara dengan Langit, aku beranjak dari sofa. Kukejar Langit yang bersiap meninggalkan kami.
Beruntung, aku menangkapnya di teras.
“Langit …!”
Napasku setengah terengah saat mendapatkannya. Kurasakan senyum di bibirku merekah begitu melihat wajahnya.
“Ah … kau sudah kembali?”
Langit menyapaku dengan datar. Tidak ada senyuman … apalagi … pelukan. Kenyataan itu membuat tenggorokanku tercekat.
“Hum … pagi ini.”
“Hum … senang melihatmu lagi.”
“Aku … juga …”
“Aku pergi dulu. Ayah membutuhkanku.”
“Ah … tunggu!”
“Hum?”
Langit menghentikan langkahnya tetapi tidak berbalik. Hanya kepalanya yang sedikit menoleh padaku.
Mataku terhenyak menyaksikannya. Apa yang harus kukatakan padanya?
Tubuhku membeku. Mulutku seolah terkunci. Hanya mampu menatapnya dengan harapan kosong.
Tidak pernah kurasakan segugup ini saat bersama Langit. Aku tidak pernah berusaha keras saat bersamanya.
Tidak pula harus berpikir keras untuk berbicara padanya. Apalagi … menahannya. Membuatnya agar tetap tinggal bersamaku. Oh … ini sungguh menyiksaku!
Lelaki berambut hitam itu memutar tubuhnya. Kepalanya menunduk perlahan. Kurasakan dia menarik napas dalam-dalam sebelum melontarkan ucapannya padaku.
“Jadi … kau akan menikahinya?”
“Huh?”
“Kudengar kalian akan menikah.”
“Ah … begitulah.”
“Hum … Aku mengerti.”
Senyumnya tampak sangat dipaksakan. Langit memutar tubuhnya. Berjalan menjauh menuju pintu gerbang. Entah mengapa aku tidak menginginkannya.
Aku tidak ingin Langit pergi secepat itu. Secara impulsive, tubuhku berlari mendekat padanya.
Mencoba menghentikannya atau … apapun istilahnya. Aku tidak dapat menemukan alasan yang tepat.
Tanganku berhasil meraih lengan Langit yang terasa besar dalam genggamanku. Namun itu membuat kami berdua membeku. Terlebih saat mata kami bertemu.
“Ah … maafkan aku …“
Ini aneh. Tanganku bagai tersengat listrik karenanya. Bagaimana mungkin respon tubuhku berubah saat berhadapan dengan Langit?
Langit tidak menanggapiku. Bahkan saat kulepaskan genggamanku dengan cepat. Ini sangat berbeda dengan sebelumnya.
Meskipun demikian, dapat kurasakan jika dia menungguku. Menunggu untukku mengatakan sesuatu.
“Aku … tidak mengerti mengapa aku melakukan ini. Hanya saja … tidak bisakah kita kembali seperti dulu lagi?”
Langit tertawa kecil. Tawanya terasa mengejekku. Pandangan sinisnya sungguh menyayat hatiku. Padahal suaraku bergetar saat mengatakannya.
“Kau lucu sekali, Senja.”