Sikap tegas Langit meruntuhkan kekhawatiranku. Sepertinya rasa penasaranku yang meluluhkan keraguanku.
Dibandingkan dengan apapun, rasa penasaranku lebih besar. Tanganku bahkan bersiap meraih knob pintu di kursi penumpang mobil Langit. Namun …
“Senja!”
Kepalaku menoleh ke sumber suara yang sangat familiar. Suaranya menghentikan gerakan tanganku. Kulihat, Fajar berlari mendekat padaku.
Tangannya bergegas menarik lenganku. Dia menatapku dengan lembut. Sedikit senyum di bibirnya dapat kutangkap dengan jelas.
“Ayo kembali ke dalam.”
“Ah … tapi …”
Mataku berputar pada Langit. Dia telah bersiap memasuki pintu sopir di mobilnya. Pandangannya lebih lekat padaku.
Sesaat kemudian, Langit menggelengkan kepalanya. Pandangannya menyadari jika Fajar telah meraih lenganku.
Langit bergegas masuk ke mobilnya. Kurasakan Fajar menggenggam lenganku lebih erat.
“Umm … ada yang harus aku selesaikan dengan Langit. Bisakah kau menungguku di dalam?”
“Senja …“
Fajar menggelengkan kepalanya. Genggamannya semakin erat. Seolah tidak ingin melepasku.
Tangan kirinya mengetuk pintu kaca penumpang di mobil Langit. Perlahan Langit menurunkan kaca mobilnya.
“Hey ... tidak bisakah kalian menyelesaikannya di sini?”
Fajar berbicara perlahan. Namun, Langit tidak menolehkan kepalanya sedikitpun.
Langit tidak bergeming. Tidak ada jawaban apapun darinya. Lelaki berambut hitam itu tetap terdiam di kursi sopir.
Aku mengenal Langit lebih dari separuh usiaku. Kami tidak hanya bertetangga. Namun, bersahabat. Kami bahkan berhubungan baik layaknya keluarga.
Lebih mudah bagiku mengartikan perubahan sikapnya dibanding siapapun. Seperti perubahannya saat ini.
Aku memang mengenal Fajar lebih dalam di beberapa tahun terakhir. Namun … semuanya tidak sebanding dengan pemahamanku atas Langit.
Perlahan kulepaskan genggaman tanganku dari Fajar. Kulihat pupil matanya melebar. Alisnya terangkat dengan cepat. Kepalanya menggeleng pelan.
Matanya mulai berkaca-kaca. Seolah memohon padaku untuk berhenti. Memaksaku untuk tetap tinggal.
“Maafkan aku, Fajar.”
“Senja … tidak … tidak untuk sekarang. Dengarkan aku, hum?”
“Tidak, Fajar.”
“Ayolah, Senja. Kau melakukan semua ini demi Langit?”
“Tidak, Fajar. Semua ini demi diriku.”
Sesaat aku tersenyum pelan padanya sebelum melanjutkan ucapanku.
“Aku yakin Langit memiliki jawaban untukku. Jawaban dari semua pertanyaan yang tak pernah kudapatkan darimu, Fajar.”
Fajar membeku mendengar ucapanku. Mulutnya menganga tanpa membantahku.
Baru kali ini aku mengabaikan Fajar. Tidak pernah terlintas di benakku jika aku akan melakukannya.