Besok adalah pengumuman kelulusan SMAku. Dan aku masih dalam kegalauan untuk mengikuti beasiswa di luar negeri atau tetap kuliah di Indonesia menemani pakde budhe disini. "Nduk, kamu jadi ndak ikut beasiswa di Jerman?." Tanya pakde dengan logat jawanya yg medok. "Pelangi masih bingung pakde."Jawabku seadanya. "Lho opo tho yang buatmu bingung Nduk? Sayang lho undangan test beasiswa ini kamu lewatkan begitu saja." Sahut budhe sambil mengangkat nasi ke meja untuk kami makan malam.
Pikiranku menerawang jauh. Memang sih test beasiswa itu belum tentu keterima. Tapi, jika keterima bagaimana perasaan budhe pakde nanti. Mereka sudah mulai menua. Tak tega rasanya aku meninggalkan mereka berdua saja. "Pelangi, lho kok malah bengong tho nduk?" Kata budhe mengagetkanku. "Hah..eee..enggak budhe gapapa." Sahutku dengan terbata. "Pelangi, kamu itu pintar dan cerdas, nduk. Sayang sekali jika kamu tidak mengambil kesempatan ini untuk mencoba. Kamu tidak perlu memikirkan bagaimana pakde dan budhe disini. Kami ingin kamu menuntut ilmu setinggi mungkin. Kami sudah menabung sejak berjualan batik, untuk masa depanmu." Kata pakde panjang lebar menyemangatiku.
Sosok pakde benar-benar seperti ayah kandungku sendiri. Wejangan dan petuahnya selalu menentramkan. Kadang, aku sampai bingung bagaimana cara membalas kebaikan mereka. Sejak usia balita aku sudah dibiasakan memanggil mereka dengan sebutan budhe dan pakde. Mereka tidak ingin aku memanggil mereka dengan sebutan ibu bapak atau ayah bunda atau yang lainnya. Itu karena budhe sangat menghargai ibu dan ayah kandungku. Tapi walaupun begitu, budhe pakde telaten sekali merawatku sejak lahir. Menyayangiku sepenuh hati.
"Pelangi Kala Senja. Yakin ya nduk, cobalah beasiswa itu. Kami ingin kamu seindah pelangi di kala senja, memberi keindahan diujung waktu kami, di masa senja kami." Kata budhe sambil memeluk pundakku.