Panggung seharusnya menjadi tempat yang paling membahagiakan bagi Arga. Seharusnya. Tapi malam ini, saat kru terakhir mendorong troli berisi properti keluar dan suara mereka memudar di lorong, yang ia rasakan hanyalah kehampaan yang luar biasa. Ia duduk di salah satu kursi beludru merah di baris keempat, kursi yang sama, yang selalu ia duduki. Pandangannya tak lepas dari panggung yang kosong. Cahaya remang dari lampu di belakang panggung membuat segalanya tampak lembut dan sedikit menyedihkan, seolah foto lama yang warnanya sudah pudar.
Ia melonggarkan dasinya, benda yang seharian terasa seperti jerat di lehernya, dan menyandarkan kepalanya. Tuhan, ia lelah.
Lelah karena menjadi Arga-sang-suami, Arga-sang-ayah, Arga-sang-music director-yang-bisa-diandalkan. Ia merindukan menjadi… Arga saja.
“Kamu masih ingat, Ra? Waktu pertama kali aku berdiri di panggung ini,” suaranya keluar lebih pelan dari yang ia maksudkan, menyerupai gumaman untuk dirinya sendiri. Pertanyaan Arga mengambang di udara yang beraroma debu dan kayu tua. Ia tidak menoleh, tapi ia tahu Raya masih di sana. Ia bisa merasakannya.
Di atas panggung, Raya memeluk naskah Langit Kedua ke dadanya. Kertas itu sudah agak lecek di ujung-ujungnya, bukti dari berjam-jam waktu yang mereka habiskan untuk berdebat, tertawa, dan kadang, hanya saling menatap saat membahas sebuah adegan. Ia melihat siluet Arga di antara deretan kursi kosong. Lelaki yang beberapa tahun lalu duduk di sampingnya dalam penerbangan yang tertunda ke Jakarta, menawarkan setengah dari sandwich-nya karena tahu Raya belum makan siang. Pertemuan yang begitu biasa, begitu acak, namun entah bagaimana terasa seperti titik awal dari segalanya.
Dengan helaan napas yang nyaris tak terdengar, Raya melangkah turun dari panggung. Suara sepatunya yang berhak rendah terdengar mantap di atas lantai kayu, memecah keheningan ruangan teater. Ia tidak berjalan lurus ke arah Arga, melainkan sedikit memutar, seolah memberinya waktu—dan juga dirinya sendiri—untuk berubah pikiran.
“Tentu saja aku ingat,” jawab Raya saat ia akhirnya berhenti di barisan yang sama, hanya berjarak satu kursi dari Arga. “Kamu hampir saja tersandung kabel mikrofon.”
Arga tertawa kecil, suara serak yang kering. Ia akhirnya mengangkat wajahnya, dan di dalam keremangan itu, Raya bisa melihatnya dengan jelas. Bukan Arga yang penuh percaya diri di ruang rapat, tapi Arga yang lain. Versi yang lebih rapuh, yang sorot matanya seperti berkata, ‘Tolong, lihat aku.’
“Aku tak hanya merindukan panggungnya,” kata Arga, suaranya kini lebih tegas, seolah mengakui sesuatu yang memalukan. “Tapi perasaan yang datang bersamanya. Perasaan bahwa aku… penting. Bahwa ide-ideku berarti. Merasa diinginkan. Bukan cuma menjadi bagian dari daftar tugas harian yang harus dicentang sebelum tidur.”
Oh, Tuhan. Raya merasakan kata-kata itu menusuknya tepat di ulu hati, karena itu adalah perasaannya sendiri yang ia rangkai dalam kalimat-kalimat yang lebih puitis. Perasaan bahwa ia hanyalah seorang produser yang efisien, atau seorang istri yang berfungsi dengan baik di sebuah apartemen yang lebih mirip showroom daripada rumah.
Ia menarik napas, lalu memutuskan untuk mengambil risiko. Ia duduk di kursi tepat di sebelah Arga, bahu mereka nyaris bersentuhan. Udara di antara mereka terasa hangat sekaligus berbahaya.