LANGIT KEDUA

IGN Indra
Chapter #2

Angin Di Antara Dua Musim - Part I

Jakarta malam itu adalah kebohongan yang indah. Kubah jingga di atas sana, hasil dari jutaan lampu dan ambisi, berusaha keras meyakinkan siapa pun yang memandangnya bahwa tidak ada yang namanya kegelapan total, bahwa bintang-bintang hanyalah mitos dari masa lalu. Di bawah langit artifisial itu, di sudut Senopati, kafe Echoes berdiri selayaknya sebuah pengakuan dosa yang hangat. Lampu temaramnya memanggil jiwa-jiwa yang tahu bahwa di balik semua pendar terang itu, ada sudut-sudut hati yang tetap gulita.

Raya Sarasvati tiba lima belas menit lebih awal. Itu adalah sebuah kebiasaan, sebuah benteng pertahanan yang ia bangun di dunia yang bergerak terlalu cepat. Dengan datang lebih dulu, ia bisa mengatur napas, memilih medan pertempuran—pojok dekat jendela—dan memesan senjatanya, segelas bir pale ale lokal yang dingin dan pahit. Ia membiarkan rasa pahit menyebar di lidahnya, sebagai pengingat akan realitas sebelum berhadapan dengan fantasi.

Fantasi itu bernama Arga Janitra. Dan pria itu terlambat.

Setiap menit yang berlalu terasa seperti setetes air yang jatuh ke dalam gelas yang sudah penuh. Pikiran Raya mulai berlari liar. Mungkin saja Arga tidak akan datang. Ini terlalu berisiko. Mungkin akal sehat akhirnya menang dalam dirinya. Mungkin istrinya menelepon. Mungkin…

Lalu, pintu kafe berderit pelan, dan di sanalah dia. Arga. Jantung Raya melakukan gerakan jungkir balik yang konyol, campuran antara lega dan panik. Dasi Hermes-nya sudah dilonggarkan, sebuah bendera putih kecil yang dikibarkan melawan hari yang berat. Blazer abunya tersampir di lengan, dan cara dia berjalan memasuki ruangan—santai namun memiliki tujuan—membuat beberapa kepala menoleh. Termasuk kepala Raya, meskipun ia berusaha keras agar terlihat sibuk dengan embun di gelas birnya.

Arga melihatnya, dan seulas senyum tipis yang sangat Raya kenal tersungging di bibirnya. Senyum yang bisa melucuti senjata satu batalion penuh. Aroma musk dan kayu cendana yang samar mendahuluinya, sebuah wangi yang seharusnya sudah Raya lupakan, namun ternyata memorinya punya kehendak sendiri.

“Kau terlihat persis seperti seharusnya, Ra. Berbahaya,” kata Arga, suaranya rendah dan sedikit serak saat ia duduk di hadapan Raya. Matanya memindai wanita itu, tidak dengan cara yang kurang ajar, tapi dengan keingintahuan seorang arkeolog yang menemukan artefak langka.

Raya berhasil melempar tawa kecil yang terdengar cukup meyakinkan. “Dan kau terlambat.” Ia membiarkan kalimat itu menggantung, sebuah teguran ringan yang mereka berdua tahu hanyalah formalitas.

“Aku harus berdebat dengan diriku sendiri apakah pertemuan ini sepadan dengan risiko meninggalkan rapat creative lebih awal,” balas Arga, sambil memberi isyarat pada pelayan. Matanya tak lepas dari Raya. “Melihatmu sekarang, aku rasa aku membuat keputusan yang benar.”

Raya mengangkat alisnya. “Jadi, kau datang bukan untuk menyelamatkan proyek kita?”

“Oh, itu juga,” Arga terkekeh. “Tapi mari kita akui, Langit Kedua bukan sekadar proyek. Itu jiwa kita yang tercecer di atas kertas, kan?” Dia memesan bir yang sama. Ada keintiman sederhana dalam pilihan itu, sebuah pengakuan tanpa kata bahwa mereka masih berada di frekuensi yang sama.

Mereka menyesap bir dalam diam sejenak. Keheningan yang nyaman, diisi hanya oleh alunan jazz lembut dan gumaman pengunjung lain. Keheningan yang membuat Raya berani untuk memulai.

Lihat selengkapnya