LANGIT KEDUA

IGN Indra
Chapter #3

Angin Di Antara Dua Musim - Part II

Malam itu belumlah selesai, atau lebih tepatnya, tak satu pun dari mereka ingin malam itu selesai. Setelah melangkah keluar dari kehangatan kafe Echoes, udara Jakarta yang lembap menyapa mereka seperti seorang teman lama. Berpisah dan mencari taksi terasa seperti sebuah pilihan yang salah, sebuah pengkhianatan terhadap momen yang baru saja tercipta. Jadi, mereka berjalan.

Mereka menyusuri trotoar yang basah, di bawah pendar lampu jalan yang seolah menunjuk ke arah yang tak pasti. Keheningan di antara mereka bukanlah keheningan yang canggung. Itu adalah keheningan yang padat, penuh dengan kata-kata yang tak terucap, pertanyaan yang terlalu berat untuk ditanyakan, dan jawaban yang terlalu menakutkan untuk didengar. Setiap langkah adalah sebuah negosiasi dengan diri sendiri.

"Kamu benar-benar yakin bisa meyakinkan mereka besok?" Suara Raya memecah keheningan itu, nyaris seperti bisikan. Itu bukan pertanyaan tentang kemampuannya, melainkan sebuah permohonan terselubung untuk sebuah kepastian, sekecil apa pun.

Arga tidak menoleh. Langkahnya tetap mantap. "Yakin," jawabnya. "Tapi bukan itu yang kupikirkan sekarang."

"Lalu apa?" Raya berhenti, memaksanya untuk berbalik menghadapnya.

Di bawah lingkaran cahaya lampu jalan, Arga menatapnya. Wajahnya separuh terang, separuh dalam bayangan, persis seperti perasaan yang bergejolak di dalam diri Raya. "Aku sedang berpikir betapa konyolnya kita," kata Arga, suaranya rendah. "Memiliki semua ini di antara kita, tapi kita memilih untuk hidup dalam keheningan selama berbulan-bulan."

Jarak di antara mereka yang tadinya terasa aman, kini terasa penuh dengan listrik statis. Raya bisa merasakan kehangatan tubuh Arga, mencium aroma parfumnya yang bercampur dengan bau hujan. Itu adalah sebuah pertanyaan yang tak diucapkan. Sebuah undangan. Arga tidak bertanya, ia hanya menunggu. Dan Raya mengerti. Ia mengangguk pelan, sebuah jawaban yang datang dari tempat yang lebih dalam dari sekadar logika.


***

Kamar hotel itu terletak di lantai atas, sebuah labirin mewah di tengah gemuruh kota Jakarta yang tak pernah terlelap. Dinding kaca yang berdiri kokoh dari ujung lantai hingga ke langit-langit, menyajikan pemandangan lautan cahaya. Ribuan lampu di jalan dan gedung-gedung tinggi berkelip, menciptakan ilusi seolah mereka berada di dalam ruang waktu yang memisahkannya dari realitas.

Di dalam, hanya ada kesunyian yang dipecah oleh desau pendingin udara.

Lihat selengkapnya