LANGIT KEDUA

IGN Indra
Chapter #4

Angin Di Antara Dua Musim - Part III

Keesokan harinya, Jalan Sudirman, yang biasanya sudah riuh rendah klakson, hari ini hanya terdengar seperti bisikan. Mungkin kota ini tahu, hari ini adalah hari yang penting. Setidaknya, penting bagi Arga.

Arga berdiri di lobi kantor yang begitu megah hingga rasanya sedikit konyol. Marmer di bawah sepatunya berkilau, dan lampu gantung di atas kepalanya mungkin bisa dipakai untuk membayar uang muka rumah. Ia merapikan jas hitamnya, yang terasa sedikit kaku. Bukan karena ukurannya, tapi karena apa yang diwakilinya hari ini. Di balik matanya, ada sesuatu yang berbeda. Semacam api kecil yang baru saja menyala kembali tadi malam. Jantungnya berdetak dengan irama yang mantap, seperti prajurit yang akan maju ke medan perang. Namun di dalam kepalanya, yang terdengar justru melodi yang sama sekali berbeda. Melodi tentang sentuhan lembut dan keberanian yang baru ia temukan. Pertanyaannya adalah, bagaimana cara membawa melodi itu ke ruang rapat yang dingin ini?

Di sampingnya, Raya Sarasvati adalah definisi dari ketenangan. Gaun kremnya sederhana namun elegan, dan rambutnya yang disanggul ringan seolah berkata, “Aku tahu apa yang kulakukan.” Tapi Arga tahu lebih baik. Ia bisa melihat getaran kecil di balik mata Raya yang tenang itu. Mereka berdiri berdampingan, tampak seperti dua profesional yang siap menaklukkan dunia. Padahal, di balik semua itu, mereka hanyalah dua orang yang baru saja menemukan sesuatu yang mereka kira telah hilang. Rahasia kecil yang mereka simpan rapat-rapat.

Lift membawa mereka ke lantai 25 dalam keheningan. Di cermin, mereka tampak seperti pasangan yang sempurna. Arga mencuri pandang ke arah Raya lewat pantulan cermin dan menangkap basah Raya sedang melakukan hal yang sama. Mereka bertukar senyum tipis, senyum yang hanya bisa dimengerti oleh mereka berdua. Ketika pintu lift terbuka, aroma kopi mahal menyambut mereka. Dan di sana, di ujung meja kayu yang besar, duduklah Budiman Atmadinata.

Rambut peraknya tersisir rapi, dan matanya setajam elang. Ia adalah legenda. Pria yang bisa membuat atau menghancurkan karier seseorang hanya dengan satu anggukan.

“Silakan duduk,” katanya. Suaranya berat, namun ada kelembutan di sana.

Raya duduk dengan anggun, seolah ia dilahirkan untuk berada di ruangan seperti ini. Arga, sebaliknya, duduk sedikit condong ke depan. Ia tidak hanya membawa proposal. Ia membawa seluruh dunianya.

Budiman membuka map di hadapannya. Suaranya terdengar seperti kertas tua yang dibalik. “Raya, bagaimana perkembangan proyek ini?” tanyanya, langsung ke intinya.

Raya tersenyum tipis. "Ada sedikit masalah, Pak. Mengenai posisi music director.”

Budiman mengangkat alis. “Yang sebelumnya?”

Raya melirik Arga sejenak. “Beliau mengundurkan diri. Kami berselisih paham mengenai arah musikalnya.”

“Begitu,” kata Budiman, mengetukkan jarinya ke meja. Ritmenya pelan, penuh perhitungan. “Lalu, siapa penggantinya?”

Arga menarik napas. Inilah saatnya. “Saya, Pak.”

Ruangan itu hening. Budiman menatap Arga lekat-lekat, seolah sedang mencoba membaca pikirannya. “Kamu? Itu risiko yang sangat besar, Nak.”

Arga tersenyum. Senyum yang lahir dari keyakinan yang baru ia temukan semalam. “Musik adalah jantung dari pertunjukan ini, Pak. Kalau detaknya salah, semuanya akan mati rasa.”

Raya menambahkan dengan lembut, suaranya seperti lapisan madu di atas roti panggang. “Arga yang paling memahami ruh cerita ini, Pak. Ia yang merangkai melodinya bersama saya.”

Lihat selengkapnya