Pintu di belakang Raya berderit pelan sebelum menutup dengan bunyi klik yang seolah menelan semua suara dari dunia luar. Seketika, ia merasa udara di dalam studio ini berbeda. Lebih berat, lebih padat, seolah waktu di sini telah mengendap selama bertahun-tahun, lupa caranya mengalir.
Bukan, ini bukan lagi sekadar studio musik. Tempat ini telah berubah menjadi semacam brankas—brankas untuk semua yang tak terucap, untuk kenangan yang terlalu berharga untuk dilepaskan dan terlalu menyakitkan untuk diingat. Raya menarik napas dalam-dalam, dan yang tercium bukanlah pengapnya ruangan tertutup, melainkan aroma yang begitu dikenalinya hingga terasa menusuk ulu hati: aroma kayu poles, debu tipis dari partitur yang terlupakan, dan jejak samar parfum miliknya. Melodi masa lalu yang tak pernah benar-benar pergi.
Langit-langit ruangan yang tinggi dengan balok-balok jati tuanya membuat Raya selalu merasa kecil setiap kali melangkah masuk. Rasanya seperti memasuki sebuah kapel pribadi, bukan untuk berdoa, melainkan untuk mendengarkan. Untuk merasakan gema dari semua tawa, semua nada yang salah, dan semua keheningan panjang yang pernah mengisi tempat ini.
Seberkas cahaya senja yang keemasan menyelinap nekat dari celah tirai beludru abu yang tebal, melukis sepetak persegi di lantai kayu yang gelap. Debu-debu halus menari di dalamnya, saksi bisu dari sore-sore yang telah lama berlalu.
Dan di sanalah ia berdiri, di tengah ruangan, persis seperti saat terakhir kali Raya melihatnya. Sebuah grand piano hitam yang megah. Tubuhnya yang mengilap memantulkan cahaya senja yang sekarat, menciptakan bayangan kabur yang mengingatkan Raya pada hantu dari dirinya sendiri di masa lalu. Piano itu bukan sekadar benda mati, ia adalah monumen. Monumen dari janji-janji yang dibisikkan di atas tutsnya, dari jari-jemari yang pernah menari di atasnya, dari sebuah lagu yang tak pernah selesai.
Raya mendekat, jarinya hampir terulur untuk menyentuh ukiran rumit di kakinya, detail kecil yang pernah ia telusuri sambil tertawa, tak pernah menyangka bahwa detail itu akan menjadi pengingat yang begitu tajam akan sesuatu yang hilang. Piano itu diam membisu, namun seluruh ruangan seakan berputar mengelilinginya. Seolah semua cinta dan patah hati, semua harapan dan kekecewaan, tersimpan aman di dalam perutnya yang gelap. Ia bukan lagi alat musik, melainkan sebuah kotak waktu.
Pandangannya beralih pada rak-rak buku yang menjulang ke langit-langit, penuh sesak dengan biografi komponis yang wajahnya sudah usang dan partitur-partitur yang ujungnya melengkung rapuh, seolah membungkuk pada waktu. Di salah satu rak, sebuah bingkai foto emas yang sedikit kusam menarik perhatiannya. Wajah seorang pria yang tertawa lepas, matanya berkerut di sudut karena bahagia. Tawa yang dulu menjadi musik terindah bagi Raya, kini hanya bergema dalam keheningan.
Sebuah lampu kristal tua tergantung di atas, hanya satu dari belasan bohlamnya yang masih memancarkan cahaya redup. Sinarnya yang rapuh menciptakan bayang-bayang panjang di sudut ruangan, cukup terang untuk menuntun ingatan, tetapi terlalu temaram untuk menyembuhkan luka.
Di ruangan ini, semuanya terasa tertahan dalam keseimbangan yang aneh. Antara kehilangan dan kenangan. Antara suara musik dan sunyi yang memilukan. Raya memejamkan mata. Di sini, ia tidak perlu berpura-pura kuat. Ia hanya perlu merasa. Inilah satu-satunya tempat di dunia di mana waktu seolah berlutut, memberinya izin untuk mengingat. Tempat di mana hati yang patah bisa beristirahat sejenak, tanpa perlu berpura-pura utuh.
Raya masih berdiri di sana, di samping grand piano yang seolah ikut menahan napas bersamanya. Jemarinya yang ramping menekan pelan tutup kayu di atas tuts, seolah mencoba merasakan jejak kehangatan yang mungkin masih tersisa. Tapi yang ia rasakan hanya dinginnya pernis yang halus. Sebuah pengingat yang kejam bahwa kenangan tidak bisa disentuh.
Gaun yang ia kenakan terasa sedikit kaku di punggung. Bekas lipatan dari duduk terlalu lama di ruang rapat, memperjuangkan sesuatu yang kini terasa begitu sepele. Beberapa helai rambutnya yang tadi pagi ditata rapi kini menyerah, jatuh lembut di tengkuknya. Tanda-tanda kelelahan yang tak akan pernah ia akui dengan kata-kata. Tapi matanya—ah, matanya tidak bisa berbohong. Di sana ada riak kegelisahan, serupa melodi asing yang tiba-tiba muncul di kepala tanpa diundang. Melodi yang belum ia tahu harus diapakan. Apakah dituliskan di atas kertas, atau dibiarkan saja mengalun liar, dimainkan oleh detak jantungnya yang kini terasa begitu kacau.
Raya tidak sedang mendengarkan musik. Ia sedang mendengarkan dirinya sendiri, dan itu jauh lebih berisik daripada simfoni mana pun.
Lalu, suara itu datang. Langkah kaki di belakangnya, begitu ringan di atas lantai kayu hingga nyaris tak bersuara. Tapi Raya mendengarnya. Seluruh dunianya yang sedang berputar kencang mendadak berhenti. Ia tidak perlu menoleh. Sama seperti kehidupan yang tidak perlu melihat matahari untuk tahu hari sudah pagi. Ia memejamkan mata sesaat, hanya sepersekian detik, mempersiapkan diri. Senyum tipis yang getir tersungging di bibirnya. Senyum seseorang yang tahu, jauh di lubuk hatinya, bahwa penantian ini pada akhirnya akan tiba.
Sebab beberapa kehadiran tidak butuh pembuktian visual. Cukup didengar, dan seluruh sistem saraf sudah mengakuinya lebih dulu.
“Aku tahu kamu akan datang,” bisiknya. Suaranya lebih ditujukan pada udara di antara mereka daripada pada Arga. Ada kelegaan yang goyah dalam nadanya, seolah pintu yang selama ini ia tahan dengan sekuat tenaga, akhirnya dibiarkan terbuka.
Di balik kata-katanya itu, tersimpan pengakuan lain yang tak ia ucapkan: aku menunggumu. Sebuah janji tak terucap yang mereka buat bertahun-tahun lalu—janji yang terlalu konyol untuk dianggap serius oleh orang lain, tapi terlalu membekas untuk mereka lupakan.
Arga berdiri di ambang pintu, ragu-ragu. Ia butuh beberapa detik untuk memproses pemandangan di hadapannya: siluet Raya yang tegang di samping piano, cahaya lampu yang hanya menerangi separuh wajahnya, dan keheningan yang terasa seperti pengakuan dosa. Ia menarik napas, seakan menghirup sisa-sisa keberanian, lalu melangkah masuk. Pintu berderit pelan di belakangnya, suara kecil yang terasa seperti aba-aba. Tirai telah diangkat. Pertunjukan sunyi ini—drama tanpa naskah dan tanpa penonton—akhirnya dimulai.
“Aku tidak punya pilihan lain,” jawab Arga. Suaranya rendah dan sedikit serak, suara seorang pria yang telah bergulat dengan dirinya sendiri sepanjang hari dan kalah. “Aku tidak bisa tidak datang.”
Arga mengucapkan sebuah kebenaran. Batas yang dulu mereka sepakati untuk tidak pernah dilewati, telah ia langgar tadi malam. Dan kini ia sadar, tidak ada lagi jalan untuk kembali.
Perlahan, Arga mendekat. Setiap langkah terasa berat, seolah menembus lapisan waktu. Tangannya terangkat, lalu mendarat dengan hati-hati di bahu Raya. Sebuah pertanyaan tanpa kata. Sebuah tes. Apakah ia akan menegang? Apakah ia akan menghindar? Sentuhan itu bukan percikan api, melainkan seperti air hangat yang meresap ke dalam kulit yang kedinginan. Menenangkan sekaligus membangkitkan sesuatu yang terlalu lama tertidur. Jari-jarinya kemudian bergerak bimbang, menyusuri garis leher gaunnya. Gerakan yang tak menuntut, hanya sebuah keinginan sederhana untuk merasakan kembali keintiman yang telah lama hilang. Raya gemetar. Getaran kecil yang menjadi jawaban atas pertanyaan Arga.
“Aku masih belum yakin… soal kemenangan kita tadi siang,” ucap Arga, berbisik. Keraguan itu begitu kentara, seperti seorang aktor yang masih berdiri di panggung setelah tepuk tangan mereda, bertanya-tanya apakah pujian itu tulus.
Raya tidak langsung menjawab. Ia menatap lantai di bawahnya, seolah mencari jawaban di sana. “Kamu tahu jawabannya, Ga,” akhirnya ia berkata, nadanya datar namun tegas. “Budiman Atmadinata tidak akan membuang waktunya jika dia tidak melihat potensi.”