Raya yang pertama membuka mata. Untuk sesaat, tidak ada kepanikan. Hanya kesadaran yang tenang, seolah tubuhnya sudah lama tahu bahwa pagi seperti ini akan datang. Ia berbaring diam, menatap langit-langit kayu yang mulai terlihat jelas, mencoba memberi nama pada perasaan aneh yang bersemayam di dadanya. Bukan rasa bersalah. Bukan pula kebahagiaan. Sesuatu yang lain. Sesuatu yang lebih rumit.
Cahaya pertama matahari menyelinap masuk melalui celah tirai beludru, seberkas cahaya keemasan yang terasa seperti tuduhan. Cahaya itu membelah keremangan, jatuh di atas seprai yang kusut dan kulit Arga yang masih terlelap di sampingnya. Pagi. Musuh dari semua rahasia yang tercipta di malam hari.
Napas Arga teratur, tenang. Raya menggerakkan jarinya, menyusuri garis dadanya dengan sentuhan yang begitu ringan, takut membangunkannya. Ia hanya butuh kepastian. Sentuhan kulit yang hangat, detak jantung yang stabil di bawah telapak tangannya. Ini nyata. Apa yang mereka lakukan semalam bukanlah sebuah kecelakaan, bukan pula sebuah pengkhianatan dalam arti yang sederhana. Rasanya lebih seperti akhirnya menemukan kunci dari sebuah pintu di dalam dirinya sendiri, pintu yang tidak pernah ia tahu ada di sana, dan menyadari bahwa orang di sebelahnyalah yang memegang kuncinya selama ini.
Perlahan, sangat perlahan agar tidak menimbulkan suara, ia duduk. Rambutnya yang berantakan terasa seperti arsip dari sentuhan tangan Arga. Gaunnya tergeletak di dekat kaki piano, seonggok kain yang tampak seperti bukti bisu. Ia tidak ingin mengenakannya dulu. Memakai gaun itu lagi terasa seperti menyetujui bahwa semua ini telah berakhir. Sebaliknya, ia menarik selimut abu-abu yang tebal, membungkus tubuhnya. Aroma Arga menempel di kain itu, dan untuk sesaat, ia membiarkan dirinya bersembunyi di dalamnya, mencoba menghentikan waktu.
Gerakannya membangunkan Arga. Pria itu tidak terkejut. Matanya terbuka perlahan, dan sebuah senyum kecil yang tulus terukir di bibirnya yang sedikit bengkak. Senyum yang mengatakan, aku melihatmu, dan aku tidak menyesal.
“Pagi,” katanya, suaranya serak dan hangat.
“Pagi yang aneh,” balas Raya, matanya menatap ke arah jendela, menghindari tatapan Arga.
Arga ikut duduk, menyandarkan punggungnya ke sisi piano yang dingin. “Kenapa aneh?”
Raya menarik napas. “Karena tidak ada yang berubah, tapi segalanya terasa berbeda,” katanya, mencoba menjelaskan sesuatu yang ia sendiri tidak mengerti. “Aku masih aku. Kamu masih kamu. Tapi… ada sesuatu yang bergeser. Sesuatu yang tidak bisa ditarik kembali.”
Arga mengangguk pelan. Ia mengerti. Pagi setelah malam seperti itu selalu terasa seperti berjalan di negeri asing yang terasa biasa.
Raya berdiri, membiarkan selimut itu melorot. Udara pagi yang sejuk menyentuh kulitnya. Dengan langkah tanpa suara, ia berjalan ke rak piringan hitam di sudut ruangan. Tangannya menyusuri sampul-sampul piringan hitam, mencari sesuatu. Mencari sebuah bahasa.