Rapat itu seharusnya berakhir setelah persetujuan dramatis dari Budiman. Seharusnya, momen katarsis itu menjadi penutup yang indah, membiarkan keajaiban musik menggantung di udara seperti serbuk sari emas.
Namun, Budiman bukanlah seorang penyair; ia seorang arsitek imperium. Begitu emosinya surut, naluri bisnisnya mengambil alih dengan kecepatan seekor elang yang menukik.
Gaung dari nada cello terakhir bahkan belum sepenuhnya sirna saat ia menepuk meja mahoni itu dengan telapak tangannya, suaranya yang kini kembali tegas dan pragmatis memecah keheningan sakral.
“Baik. Ini luar biasa. Fondasinya kokoh. Sekarang, bagaimana kita menjualnya?”
Satu pertanyaan itu, begitu sederhana namun begitu berat, seketika mengubah atmosfer ruangan. Kehangatan yang tadi menyelimuti mereka menguap, digantikan oleh hawa dingin kalkulasi. Arga, yang masih melayang dalam euforia validasi artistik, tampak seperti ditarik paksa kembali ke bumi. Raut wajahnya menunjukkan kebingungan sesaat, seolah seseorang baru saja membahas laporan pajak di tengah-tengah sebuah upacara pernikahan.
Raya, di sisi lain, langsung tersentak ke mode produser. Otaknya yang terlatih seketika mulai berputar, memvisualisasikan spreadsheet, linimasa, dan daftar tugas yang tak berujung. Inilah dunianya, dunia di mana seni yang indah harus diterjemahkan ke dalam bahasa angka dan tenggat waktu.
“Kita punya waktu,” ujar Raya, mencoba terdengar tenang, meskipun jantungnya mulai berpacu lagi untuk alasan yang sama sekali berbeda. “Kita bisa mulai dengan kampanye teaser, membangun rasa penasaran…”
“Kita tidak punya banyak waktu,” potong Budiman, nadanya tak menyisakan ruang untuk perdebatan. Ia menatap Raya lekat-lekat, tatapannya tajam seperti ujung paku. “Saya ingin tiket mulai dijual… dua minggu dari sekarang.”
Hening.
Jika tadi keheningan di ruangan itu terasa pekat oleh emosi, keheningan kali ini terasa hampa oleh keterkejutan. Dua minggu. Itu bukan tenggat waktu, itu adalah sebuah hukuman mati. Untuk sebuah pertunjukan yang bahkan belum memiliki naskah lengkap, belum memiliki satu pun pemeran, menjual tiket dalam dua minggu adalah sebuah kegilaan.
“Pak… itu… mustahil,” kata Raya, suaranya nyaris bergetar. Ini pertama kalinya ia secara langsung membantah Budiman. “Kita butuh minimal tiga bulan untuk persiapan. Pemasaran, audisi, latihan, desain panggung… Dua minggu hanya cukup untuk mendesain posternya saja.”
“Tiga bulan itu kemewahan yang tidak kita miliki,” balas Budiman, bersandar di kursinya dengan sikap seorang raja di singgasananya. “Saya sudah membayar uang muka untuk sewa Teater Besar selama satu bulan penuh, dimulai tepat sepuluh minggu dari sekarang. Ada slot kosong yang langka karena sebuah produksi internasional batal. Ini kesempatan emas. Now or never. Jika kita menunggu tiga bulan hanya untuk persiapan, kita akan kehilangan momentum dan juga kehilangan slot gedung itu. Jadi, ya, dua minggu. Kita harus menciptakan gelombang tsunami, bukan sekadar riak.”
Raya merasakan kepalanya pusing. Teater Besar. Puluhan miliar. Sepuluh minggu menuju malam pembukaan. Dua minggu untuk menjual tiket. Angka-angka itu berdansa di benaknya, membentuk monster kepanikan. Ia bisa merasakan tanggung jawab itu mendarat di bahunya, beban yang begitu berat hingga membuatnya sulit bernapas. Musik indah yang tadi didengarnya kini terasa seperti sebuah ironi yang kejam; simfoni tentang harapan yang kini dibebani oleh ekspektasi yang mustahil.
Arga, yang sedari tadi diam, akhirnya angkat bicara. “Tapi bagaimana bisa kita menjual sesuatu yang belum sepenuhnya ada? Itu seperti menjual janji kosong.”
“Justru itu, Arga,” kata Budiman, matanya beralih pada sang komposer. “Kita tidak menjual produk jadi. Kita menjual sebuah gagasan. Emosi. Kita menjual musik yang baru saja saya dengar. Kita menjual cerita di baliknya.” Ia berhenti sejenak, menatap Arga dengan intens. “Dan untuk melakukan itu, kita butuh nama besar. Sebuah jangkar.”
“Maksud Bapak?” tanya Raya.
“Kita butuh sutradara,” kata Budiman. “Bukan sutradara teater biasa. Kita butuh seorang maestro. Seseorang yang namanya saja sudah menjadi jaminan kualitas, yang namanya bisa kita pajang besar-besar di poster. Saya sudah memikirkan satu nama: Teguh Perkasa.”
Nama itu menggema di ruangan. Teguh Perkasa. Sutradara film legendaris yang terkenal dengan visualnya yang megah, penceritaannya yang puitis, dan egonya yang setinggi gedung pencakar langit tempat mereka berada. Mendapatkan Teguh Perkasa untuk sebuah proyek adalah kudeta besar. Tapi bekerja dengannya dikenal sebagai sebuah mimpi buruk kreatif. Ia terkenal suka membongkar pasang naskah, mengubah visi asli seorang penulis menjadi versinya sendiri.
Wajah Arga langsung mengeras. “Teguh Perkasa? Dengan segala hormat, Pak, film-filmnya memang indah, tapi… gayanya sangat dominan. Saya khawatir… musik saya hanya akan menjadi latar belakang untuk visualnya yang bombastis. Saya tidak ingin esensi dari Simfoni Kedua ini hilang.”