LANGIT KEDUA

IGN Indra
Chapter #8

Langit Yang Telanjang, Udara Yang Merindu - Part I

Pagi itu, Sekar memakai blus sutra berwarna biru laut. Blus itu adalah senjatanya, baju zirah yang ia simpan untuk wawancara kerja atau pertemuan penting. Bukan blus yang ia kenakan untuk membuat roti panggang dengan selai kacang. Tapi hari ini, entah kenapa, terasa seperti pertempuran yang paling penting. Di atas meja, Langit, putra mereka yang berusia tiga tahun, sedang sibuk mencomot potongan roti berbentuk bintang—sebuah usaha kecil dari Sekar yang mungkin tidak akan diingat Langit, tapi terasa begitu penting bagi Sekar. Bukti bahwa ia masih berusaha, bahwa ia masih menata hal-hal kecil dengan cinta.

Ia melirik kalender yang tertempel di pintu kulkas dengan stiker magnet berbentuk alpukat. Lingkaran merah yang ia buat dengan spidol permanen di tanggal hari ini terasa seperti suar di tengah lautan kabut yang bernama pernikahan. “Sabtu malam—date night”. Dua kata yang terasa begitu asing dan penuh harapan di saat yang bersamaan. Terakhir kali mereka benar-benar ‘berkencan’ mungkin sebelum Langit bisa berjalan. Ia sudah memesan pengasuh dari aplikasi “JagaKecil” seminggu yang lalu, sebuah tindakan yang terasa begitu berani dan penuh perhitungan. Sejak menekan tombol ‘pesan’, perutnya terasa seperti diisi oleh sekumpulan kupu-kupu gugup yang tak tahu arah terbang.

Ia menuang susu ke dalam gelas plastik bergambar dinosaurus milik Langit, gerakannya sedikit terlalu hati-hati, seolah takut menumpahkan harapan yang sudah ia kumpulkan. Arga masuk ke dapur, sudah rapi dengan kemeja polonya, aroma sabun mandinya masih segar. Tapi matanya masih tertinggal di tempat lain, mungkin di ruang rapat, mungkin di dalam layar ponselnya. Ia tersenyum pada Langit, senyum tulus seorang ayah. Lalu ia menoleh pada Sekar, dan senyum itu sedikit berubah, menjadi sesuatu yang lebih seperti kebiasaan. Sekar merasakan getaran itu lagi, getaran yang mengatakan bahwa suaminya ada di sini secara fisik, tapi tidak secara utuh.

Tidak apa-apa, batin Sekar, sambil menyodorkan piring roti ke arah Arga. Tangannya sedikit gemetar. Malam ini. Malam ini akan berbeda. Kita hanya butuh waktu. Sedikit waktu tanpa popok dan mainan yang berserakan. Ia mengulanginya seperti mantra. Mungkin cinta memang tak pernah mati. Mungkin ia hanya butuh diingatkan kenapa pernah hidup.

Bel pintu berbunyi tepat pukul tujuh malam. Seorang gadis muda dengan senyum ramah dan ransel di punggungnya memperkenalkan diri sebagai Mbak Rini, sang pengasuh. Sekar sudah memeriksa profilnya yang penuh bintang lima, membaca ulasan dari para ibu lain yang memujinya. Tapi semua itu tidak mengurangi sedikit pun rasa cemas yang mencengkeram hatinya.

“Mama… jangan pigi…” rengek Langit, kedua tangan mungilnya memeluk erat kaki Sekar, wajahnya terbenam di kain celananya. Aroma bedak bayi dan cinta tanpa syarat yang begitu murni menyeruak, membuat dada Sekar terasa sesak. Ini bagian tersulit. Selalu.

Ia berjongkok, menyamakan tingginya dengan dunia Langit yang penuh dengan monster baik hati dan mobil-mobilan. “Mama cuma sebentar, Sayang. Sama Ayah. Nanti Langit main sama Mbak Rini, ya? Kita baca buku dinosaurus kalau Mama pulang.” Ia mencium kening Langit yang hangat, berusaha keras agar senyumnya terlihat meyakinkan, bukan seperti topeng yang lemah.

Arga berdiri di ambang pintu, sudah mengenakan jaket kulit yang Sekar hadiahkan untuk ulang tahunnya dua tahun lalu. Jaket itu masih terlihat bagus, tapi pria di dalamnya terasa berbeda. Ia tampak kikuk, menepuk punggung Langit dengan gerakan ragu. “Ayo, Sekar. Nanti kita terlambat.” Kalimat itu terdengar lebih seperti tugas daripada sebuah ajakan kencan yang ditunggu-tunggu.

“Sudah biasa kok, Bu. Nanti juga tenang setelah lima menit,” kata Mbak Rini dengan nada profesional yang menenangkan.

Sekar mengangguk, melepaskan pelukan Langit dengan berat hati. Saat ia menutup pintu, meninggalkan tangisan kecil anaknya di belakang, ia merasa seperti sedang melakukan sebuah pertaruhan besar. Ia menitipkan sebagian hidupnya pada orang asing, demi menyelamatkan hidupnya yang lain—pernikahannya.

Restoran itu masih sama. Cahaya temaram, taplak meja putih bersih, dan alunan musik jazz yang samar. Dulu, saat ulang tahun pernikahan kedua mereka, Arga membawanya ke sini sebagai kejutan. Sekar ingat betul, malam itu Arga menggenggam tangannya di atas meja hampir sepanjang waktu, matanya tak pernah lepas dari wajah Sekar, seolah Sekar adalah satu-satunya hal menarik di dunia. Malam itu mereka tertawa, merencanakan liburan, bahkan bercanda tentang nama anak mereka nanti. Malam ini, restoran itu terasa seperti museum. Sunyi dan penuh kenangan yang dipajang di balik kaca tebal.

Lihat selengkapnya