Tujuh tahun yang lalu, Sekar Amara tidak pernah membayangkan bahwa hidupnya bisa berubah secepat itu. Bukan karena sebuah peristiwa dramatis yang mengguncang dunia, tapi karena satu hal kecil yang terus berulang dan kini terasa seperti artefak dari peradaban kuno: akhir pekannya.
Dulu, akhir pekan adalah wilayah kekuasaannya, sebuah teritori suci yang ia jaga dengan ritus yang tak pernah berubah. Sabtu pagi akan dimulai dengan perjalanan ke kedai kopi favoritnya, sebuah tempat kecil dengan sofa beledu usang dan aroma biji kopi panggang yang menenangkan. Pesanannya selalu sama: latte tanpa gula, tanpa foam yang berlebihan, hanya susu hangat yang memeluk espresso dengan lembut. Dengan cangkir hangat di tangan, ia akan menyeberang ke kedai buku di seberangnya. Di sana, di antara rak-rak tinggi yang beraroma kertas dan tinta, ia memiliki sebuah kursi di pojok dekat jendela yang seolah-olah memang dibuat untuknya. Tenggelam dalam novel terjemahan Jepang, dunianya menyusut menjadi seukuran halaman buku. Hening. Teratur. Tenang. Sebuah simfoni kesunyian yang hanya dipecah oleh halaman yang dibalik perlahan. Itu adalah dunianya, kapsul waktu di mana ia adalah Ratu dari ketenangannya sendiri.
Tapi itu dulu. Sebelum Arga.
Kini, akhir pekan adalah gulungan kabel hitam yang berserakan seperti ular melingkar di lantai yang lengket. Bau karpet lembap yang bercampur dengan asap rokok sisa semalam dan aroma aneh dari mesin kabut. Suara cek-cok teknisi soal colokan yang korslet, yang terkadang memicu percikan api kecil yang anehnya justru mendebarkan. Suara bass check yang menggema dari panggung kecil, menggetarkan lantai dan organ dalam; anak-anak magang yang panik mencari kabel yang entah ke mana, berteriak di antara kerumunan; dan tumpukan botol air mineral kosong di pinggir panggung, menggunung seperti monumen kekacauan yang terorganisir.
Tidak ada wangi kopi. Tidak ada sunyi. Tapi ada hidup.
Sebuah hidup yang berteriak, yang bernapas dengan cepat, yang berlari tanpa henti dengan sepatu kets yang solnya hampir lepas. Dan entah bagaimana, di tengah semua kekacauan itu, Sekar merasakan denyut nadi yang lebih kuat, sebuah energi yang, ironisnya, terasa jauh lebih nyata daripada ketenangan yang dulu mati-matian ia cari.
Malam pertama ia memberanikan diri ikut Arga ke venue, hujan turun deras, seolah langit ikut bingung dengan keputusan impulsifnya. Lokasinya adalah aula sekolah tua yang disulap menjadi tempat pertunjukan, dengan cat yang mengelupas di dinding dan jendela-jendela buram yang seperti mata berkabut. Lampu di langit-langit berkedip-kedip, sempat padam total dua kali, meninggalkan mereka dalam kegelapan yang hanya diterangi oleh cahaya senter ponsel yang panik. Kabel berserakan di mana-mana seperti jebakan maut, dan salah satu kru benar-benar jatuh karena lantai licin, mengaduh kesakitan sambil memegangi pergelangan kakinya. Seseorang mengomel karena soundman belum datang, suaranya pecah di tengah kegaduhan.
Dan Arga, oh Arga, ia seperti seorang jenderal di tengah medan perang. Ia sibuk dengan lima panggilan sekaligus, ponsel menempel di telinga kiri, tangan kanan menunjuk ke arah speaker kanan yang sedikit miring, matanya awas ke segala arah. Ia bergerak dengan kecepatan dan ketenangan yang tak masuk akal.
“Kalo ada yang jatuh atau lampu mati lagi, kamu jangan panik, ya. Itu biasa,” kata Arga cepat-cepat saat melintas di dekat Sekar, suaranya teredam oleh derau hujan dan teriakan orang. Dia melesat seperti angin, menghilang di balik tumpukan case peralatan, dan Sekar ditinggal berdiri sendiri di pinggir ruangan. Ia memeluk tas ranselnya yang berisi jaket cadangan dan beberapa botol air untuk Arga, merasa seperti patung di tengah badai, benar-benar salah tempat.
Lututnya gemetar. Bukan karena dingin atau takut, melainkan karena keheranan yang melumpuhkan.
Ini gila, pikirnya. Ini bukan tempat untukku. Ia adalah perempuan yang terbiasa duduk manis di balik meja kerjanya yang rapi, mencatat setiap detail rapat dengan pulpen favoritnya, dan memahami jadwal yang tertulis dengan jelas di agenda. Ia adalah perempuan yang mencari keteraturan dalam setiap aspek hidupnya. Tapi entah kenapa, malam itu, di tengah bau keringat dan debu, di tengah hiruk-pikuk yang seharusnya membuatnya ingin lari, dia tidak ingin pulang. Ada sesuatu yang menahannya, sebuah daya tarik aneh dari kekacauan itu yang tak bisa ia definisikan.