LANGIT KEDUA

IGN Indra
Chapter #10

Langit Yang Telanjang, Udara Yang Merindu - Part III

Dari luar, melalui unggahan media sosial yang dikurasi dengan cermat, hidup Arga mulai tampak seperti impian banyak orang. Kolase dari kehidupan orang kreatif yang sibuk dan menyenangkan. Foto-foto panggung yang megah dengan tata cahaya spektakuler, potret candid saat soundcheck yang membuatnya terlihat keren dan berkuasa, serta senyum lebar para kru yang seolah-olah bekerja tanpa beban. Tapi dari balik layar, di mana Sekar berdiri, ia tahu cerita yang sesungguhnya. Itu bukan kemewahan, melainkan ketegangan yang tidak pernah benar-benar mereda. Balada yang tak berujung, dimainkan di antara tenggat waktu yang mencekik dan ketidakpastian yang konstan.

Sekar pelan-pelan belajar, bahwa mencintai seseorang seperti Arga berarti mencintai apa yang tidak terlihat oleh kamera. Mencintai keringat yang membasahi bagian belakang kemejanya, ketegangan di rahangnya saat vendor telat datang, keraguan di matanya sesaat sebelum pertunjukan dimulai, dan kesepiannya yang aneh di tengah keramaian ratusan orang. Mencintai bagian-bagian dari Arga yang tidak pernah ia tunjukkan pada dunia, bagian-bagian yang hanya bisa dilihat oleh seseorang yang mau melihat lebih dekat.

Hari-hari mereka seringkali tidak dimulai di kafe yang nyaman, tapi di warung kopi dekat lokasi acara, tempat yang udaranya pengap oleh campuran aroma kopi hitam pekat dan asap rokok kretek. Bukan untuk kencan romantis, tapi untuk briefing panitia yang panjang dan seringkali kacau. Arga akan berbicara dengan semangat yang meluap-luap, menggambar denah panggung di atas serbet kertas, sementara Sekar akan duduk diam di sudut, memesan kopi hitam pahit dan menulis di buku catatannya. Ia mencatat setiap detail yang Arga lewatkan di tengah antusiasmenya: siapa yang harus dihubungi jika genset bermasalah, di mana membeli air mineral galon tambahan, atau mengingatkan Arga untuk menelepon ibunya. Di sanalah, di tengah obrolan teknis yang tidak ia mengerti, ia mulai memahami bahwa cinta tidak hanya berbentuk pujian atau kejutan manis. Cinta juga berbentuk menunggu diam-diam tanpa keluhan, menopang tanpa diminta, dan memahami tanpa perlu dijelaskan.

Ia sudah tidak kaget lagi jika harus menunggu berjam-jam di dalam mobil yang terparkir di lahan becek, karena Arga mendadak diminta rapat tambahan oleh klien di lokasi. Ia tidak merasa aneh lagi ketika harus mengantar dua puluh nasi bungkus ke panggung karena para kru belum sempat makan sejak siang. Bahkan, ia mulai hafal urutan warna kabel yang paling sering digunakan—merah, hitam, hijau, putih—meski tak tahu fungsinya satu per satu. Ia tahu, semua itu adalah bagian dari orkestrasi tak terlihat yang membuat sebuah pertunjukan bisa berjalan.

Pernah suatu sore, di tengah persiapan sebuah festival musik, Arga menatapnya lama. Saat itu Sekar sedang berjongkok, dengan telaten menghitung jumlah botol air mineral untuk jatah para artis, memastikan tidak ada yang kurang. Mata Arga penuh dengan pertanyaan yang tak terucap.

“Kenapa sih kamu mau ngelakuin semua ini, Sekar?” tanyanya, suaranya rendah, hamppir seperti bisikan, penuh dengan keheranan yang tulus.

Sekar menoleh dari tumpukan kardus, mengangkat bahu, dan senyum tipis yang begitu khas tersungging di bibirnya. “Kalau bukan aku, siapa lagi?”

Mungkin kalimat itu terdengar sederhana, sebuah jawaban yang spontan dan praktis. Tapi justru di situlah letak kekuatannya yang sejati. Cinta mereka tidak lahir dari pesta kejutan atau cincin berlian. Cinta mereka tidak dibangun di atas janji-janji muluk yang diucapkan di bawah langit berbintang. Tapi dari hal-hal yang luput dicatat orang lain: membawa jas hujan lipat di dalam tasnya karena tahu cuaca Jakarta tak bisa ditebak, menyelipkan beberapa lembar uang receh di laci mobil Arga karena tahu kekasihnya itu kadang lupa membawa dompet, dan mendengarkan keluh kesahnya tentang sponsor yang sulit tanpa perlu memberikan solusi, hanya menyediakan telinga dan bahu.

Sekar juga mulai memiliki keahlian khusus: membaca Arga. Ia hafal kapan Arga sedang benar-benar lelah meskipun ia masih tertawa paling keras di depan semua orang. Ia tahu dari cara Arga memijat pelipisnya diam-diam atau dari sorot matanya yang sedikit kosong. Ia tahu cara menghiburnya tanpa perlu banyak bicara. Kadang, ia hanya akan duduk di sebelahnya di tengah kebisingan, menyambungkan ponselnya ke speaker kecil, dan memutar playlist lagu-lagu folk yang menenangkan yang Arga sukai. Membiarkan melodi-melodi itu mengisi keheningan di antara mereka. Kadang, cukup dengan menyentuh punggungnya diam-diam saat mereka berpapasan, sebuah sentuhan ringan yang seolah berkata, “Aku di sini. Aku tahu.” Kadang, hanya dengan meletakkan sebotol vitamin di saku belakang celananya tanpa sepengetahuan Arga, sebuah gestur kepedulian yang tak terucap.

Hubungan mereka berjalan seperti orkestrasi sunyi penuh isyarat, tanpa banyak kata, tanpa banyak drama. Setiap gerak adalah melodi, setiap tatapan adalah lirik. Sekar tak pernah meminta namanya ditulis di bagian ucapan terima kasih di setiap akhir acara. Ia tidak pernah menuntut untuk ikut masuk ke backstage atau ikut berfoto bersama artis. Ia hanya ingin ada. Itu saja. Sebuah kehadiran yang tak terlihat, namun tak tergantikan.

Pada satu malam di puncak musim hujan, Arga benar-benar tumbang. Kelelahan ekstrem yang ia abaikan selama berminggu-minggu akhirnya menagih bayarannya. Ia tetap datang ke lokasi, sebuah panggung semi-terbuka di kawasan pinggiran Jakarta, memaksakan diri berdiri tegak meski tubuhnya menggigil kedinginan dan wajahnya pucat pasi. Sekar, yang sejak awal sudah merasa tidak enak, adalah yang pertama kali menyadari bahwa ada yang salah. Ia melihat tangan Arga sedikit gemetar saat menunjuk ke arah tata lampu.

Lihat selengkapnya