LANGIT KEDUA

IGN Indra
Chapter #11

Langit Yang Telanjang, Udara Yang Merindu - Part IV

Bagi orang lain, pekerjaan Arga terlihat seperti sebuah fantasi. Dunia yang penuh dengan musik yang menghentak, lampu panggung yang gemerlap, dan perayaan tanpa henti. Sebuah kehidupan yang memabukkan dan penuh glamor, seperti yang terpampang di unggahan media sosialnya. Tapi bagi Arga sendiri, dan bagi Sekar yang berdiri diam di sisinya, dunia itu adalah dunia yang tidak punya eskalator. Hanya ada tangga curam yang harus dinaiki pelan-pelan, satu langkah demi satu langkah. Dan tangga itu, tak jarang, licin karena tumpahan minuman, gelap, dan tak berpagar, siap menjatuhkannya kapan saja.

Arga memulai semuanya dari titik paling bawah, titik nol. Ia tidak punya koneksi di industri, tidak punya modal warisan, hanya punya sepasang sepatu kets yang solnya mulai menipis dan mimpi yang begitu besar hingga terasa sesak di dadanya. Awalnya, dia sering hanya menjadi pengganti kru yang mendadak sakit. Kadang cuma kebagian urusan konsumsi, berlari ke warung terdekat untuk membeli dua puluh botol air mineral dingin atau kopi instan untuk seluruh tim. Pernah juga jadi asisten teknis, padahal ia tidak mengerti-ngerti amat soal diagram kabel yang rumit, hanya belajar otodidak dari menjadi freelancer dan bertanya tanpa malu pada teknisi yang lebih senior. Tapi dia tidak pernah menolak, tak pernah mengeluh.

“Setiap panggung kecil, sekecil apa pun, bisa jadi langkah besar,” begitu katanya pada Sekar suatu malam. Mereka duduk di bangku plastik reyot, makan soto ayam di pinggir jalan sehabis sebuah acara kampus yang baru selesai lewat tengah malam. Aroma kuah soto yang mengepul bercampur dengan bau asap knalpot dan kelelahan mereka. Sekar hanya mengangguk, meniup kuah sotonya yang panas. Ia tahu, di balik semangat yang seperti api unggun itu, ada lelah yang sering disembunyikan. Tapi ia juga tahu, Arga bukan tipe orang yang mudah menyerah. Ia tidak mencari validasi dari orang lain. Ia mencari pembuktian, pertama-tama untuk dirinya sendiri, untuk membuktikan bahwa mimpi yang terasa mustahil itu layak untuk diperjuangkan.

Langkah demi langkah, nama Arga mulai dikenal di lingkaran kecil komunitas musik indie Jakarta. Ia bukan orang penting, bukan pula punya latar belakang keluarga yang bisa membuka pintu. Tapi satu hal yang membuat orang mulai percaya padanya: dia selalu hadir. Ia adalah orang yang bisa diandalkan. Ketika semua orang sudah ingin pulang, Arga masih di sana.

Sekar ingat betul sebuah acara musik di ruang terbuka yang tiba-tiba diguyur hujan badai. Panitia lain panik, penonton berlarian mencari tempat berteduh. Tenda panggung utama mulai miring karena tiupan angin kencang yang ganas. Saat yang lain sibuk menyelamatkan diri atau peralatan mahal, Arga, tanpa pikir panjang, berlari ke tengah dan memegang salah satu tiang tenda utama dengan kedua tangannya sendiri, menahannya agar tidak rubuh. Tubuhnya basah kuyup dalam hitungan detik, kemejanya menempel di kulit, tapi ia bergeming. Bahkan saat panitia lain mulai kabur karena kecewa atau lelah, Arga tetap bertahan hingga kabel terakhir digulung dengan aman, hingga sampah terakhir dibersihkan dari lapangan yang becek.

“Kok lo tahan sih, Ga?” tanya salah satu teknisi senior yang membantunya, matanya penuh kekaguman yang tulus.

Arga hanya tertawa kecil, tawa yang menyimpan begitu banyak makna. “Karena kalau bukan gue, siapa lagi?” jawabnya, sambil memeras ujung kemejanya. Jawaban itu, entah kenapa, beresonansi begitu kuat di hati Sekar yang menonton dari kejauhan sambil memegang dua payung. Itu adalah semangat yang juga ia miliki, semangat untuk terus berjuang meskipun tidak ada yang melihat atau memberi tepuk tangan.

Suatu hari, di ruang tamu rumah teman mereka yang sempit, Arga menggelar presentasi untuk panitia sebuah festival kampus yang cukup bergengsi. Sekar ada di sana, duduk di lantai, pura-pura sibuk dengan blackberrynya. Arga hanya bermodalkan laptop usang yang sering mengeluarkan bunyi aneh dan proyektor sewaan yang sinyalnya sering putus di tengah-tengah presentasi. Tapi saat ia mulai bicara, semua kekurangan teknis itu seolah lenyap. Matanya menyala.

“Gue nggak punya nama besar. Gue nggak bisa janjiin sponsor dari perusahaan raksasa,” katanya dengan suara yang mantap, menatap satu per satu wajah anak-anak muda di hadapannya. “Tapi gue punya rasa. Gue punya gairah untuk musik ini. Gue janji, acara kalian akan punya hati.”

Panitia itu setengah bingung, tapi setengah lagi kagum. Kalimat Arga mungkin belum meyakinkan dalam data dan angka, tapi sangat jujur dalam getarannya. Dan di dunia kreativitas, kadang yang dibutuhkan bukan proposal yang dicetak di atas kertas paling mahal, tapi keyakinan yang bisa menular. Sebuah api yang bisa menyalakan api lainnya.

Lihat selengkapnya