LANGIT KEDUA

IGN Indra
Chapter #12

Langit Yang Telanjang, Udara Yang Merindu - Part V

Dua tahun berselang sejak Sekar menjadi kompas dalam diri Arga, waktu bergerak dengan cara yang aneh dan tidak bisa diprediksi. Terkadang ia merayap, menjebak mereka dalam hari-hari panjang yang terasa seperti menahan napas, menunggu sesuatu yang tidak pasti. Di lain waktu, ia berlari kencang, mendorong mereka ke tepi jurang keputusan-keputusan besar yang mengubah segalanya. Salah satunya adalah janji yang mereka ucapkan pada suatu sore di bulan yang terlupakan.

Bukan Juni yang penuh bunga peony dan sinar matahari keemasan seperti di film-film. Bukan pula Desember yang gemerlap dengan lampu-lampu kelap-kelip. Pernikahan Arga dan Sekar terjadi pada bulan biasa, yang terjepit di antara musim-musim lain yang lebih penting. Sebuah bulan yang lewat begitu saja.

Langitnya mendung tipis, seperti selimut abu-abu yang ditarik dengan malas, membiarkan cahaya matahari menyelinap malu-malu. Bagi Arga, sore itu beraroma seperti kejujuran. Wangi tanah basah sisa gerimis semalam, berpadu dengan aroma daun jambu dan asap pembakaran sampah dari kejauhan. Tidak ada kepura-puraan. Seperti cinta mereka.

Pernikahan itu digelar di halaman belakang rumah seorang teman, sebuah rumah tua dengan lantai kayu yang berderit setiap kali diinjak—sebuah suara yang menurut Arga terdengar seperti bangunan itu sedang menghela napas. Dindingnya dipenuhi bingkai foto-foto lawas yang menguning, saksi bisu dari kehidupan orang lain. Di halaman belakang, pohon jambu raksasa menaungi para tamu seperti seorang kakek yang bijaksana.

Tidak ada ballroom hotel yang dingin dan megah. Tidak ada pilar-pilar raksasa atau lampu kristal yang harganya bisa membiayai hidup mereka selama setahun. Arga tahu semua itu. Ia bekerja di industri yang menjual kemewahan semu, dan ironisnya, ia tidak mampu memberikannya untuk pernikahannya sendiri. Rasa bersalah itu menusuknya sekilas, sebelum ia melihat sekeliling.

Yang ada hanya permadani merah marun tipis di atas rumput, tenda kain putih yang bergoyang lembut ditiup angin, dan kursi-kursi kayu yang catnya sedikit terkelupas. Musiknya akustik, dimainkan oleh dua sahabat Arga dengan gitar usang dan sebuah cajon. Mereka menyanyikan lagu-lagu cinta dari masa kuliah, lagu-lagu yang liriknya bercerita tentang kehabisan uang di akhir bulan dan janji untuk saling mentraktir kopi saset. Lagu-lagu mereka.

Lalu Arga melihatnya. Sekar.

Ia berdiri di dekat meja berisi termos kopi besar dan tumpukan bolu kukus, tertawa karena seorang tamu memeluknya terlalu erat. Ia tampak seperti musim semi yang datang tanpa pengumuman. Gaun gading sederhana yang dijahit oleh teman kuliahnya jatuh dengan anggun, tidak berteriak meminta perhatian. Rambutnya disanggul ringan, dan di balik telinga kirinya, terselip sehelai melati yang Arga tahu dipetiknya sendiri tadi pagi.

Dan saat itu, Arga merasakan sesuatu yang lebih besar dari sekadar cinta. Itu adalah rasa damai. Di tengah kekacauan hidupnya, di tengah industri yang penuh hingar bingar dan kepalsuan, Sekar adalah keheningan. Ia adalah titik hening di pusat badai. Jantung Arga yang biasanya berdebar karena cemas atau adrenalin, kini berdebar dengan ritme yang berbeda. Ritme pulang ke rumah.

Ia berdiri di samping Sekar, dengan kemeja putih lengan panjang yang disetrikanya sendiri dua kali pagi tadi karena takut kusut. Celana kainnya sederhana, sepatu pantofelnya pinjaman dari seorang teman, sedikit longgar hingga kakinya terasa bergeser setiap kali ia bergerak. Ia merasa seperti seorang penipu yang mengenakan kostum orang dewasa. Tapi setiap kali ia menatap Sekar, perasaan itu lenyap.

Cara ia menatapnya adalah segalanya. Bukan tatapan penuh nafsu atau kekaguman yang dangkal. Itu adalah tatapan seorang pria yang telah lama tersesat dan akhirnya menemukan petanya. Pernikahan mereka bukan tentang anggaran atau kemewahan. Namun tentang keberanian dua orang untuk berkata, “Aku memilihmu. Bahkan sebelum hidup kita jadi sempurna, aku tetap memilihmu.”

Malam itu, setelah semua tamu pulang, mereka kembali ke kamar kontrakan kecil di pinggir kota. Aroma tanah basah dan melati seolah mengikuti mereka masuk. Kasur busa tebal digelar di lantai. Tidak ada pendingin ruangan, hanya kipas angin tua yang berputar pelan. Dua gelas kopi yang baru diseduh masih mengepulkan uap di lantai. Tidak ada musik, tidak ada bunga. Yang ada hanya dua tubuh yang luar biasa letih dan dua hati yang masih berdebar.

Lihat selengkapnya