Raya tiba di Galeri Tirtayasa dengan langkah yang ia harap terlihat tenang dan anggun. Di sampingnya, Bagas, suaminya, tersenyum pada kerumunan dengan keahlian yang telah diasahnya selama bertahun-tahun. Semuanya sempurna pada Bagas—setelan jasnya yang tanpa cela, dasinya yang lurus presisi, aroma parfum mahal yang menguar samar. Tapi entah kenapa, malam ini, Raya merasa seperti datang bersama rekan kerja yang sangat tampan, bukan belahan jiwa.
Gaun sutra emerald green-nya terasa seperti kulit kedua, dingin dan cair. Gaun itu adalah pilihan yang diperhitungkan dengan cermat: cukup memukau untuk membuat orang menoleh, tetapi tidak cukup keras untuk membuat mereka berbisik. Itu adalah perisainya malam ini, sebuah kamuflase yang indah.
“Raya, akhirnya kau di sini!” Seorang wanita berambut pendek dengan kimono modern memeluknya sekilas.
Raya membalas dengan senyum yang telah ia latih, senyum yang hangat namun menjaga jarak. “Tentu saja. Aku tidak akan melewatkan malam seperti ini.”
Bagas sudah larut dalam percakapan dengan beberapa kolega, meninggalkan Raya di orbit sosialnya, seperti biasa. Ruangan itu berdengung dengan obrolan sopan dan denting gelas anggur. Di balik semua itu, ada sesuatu yang Raya kenali betul: kepura-puraan. Orang-orang datang ke sini untuk melupakan sejenak siapa diri mereka sebenarnya. Terkadang, Raya merasa dialah yang paling ahli dalam hal itu.
Lalu, matanya menangkap sosok yang membuat jantungnya seolah berhenti berdetak sesaat. Arga. Dan di sampingnya, seorang wanita yang terasa akrab, yang membuat napas Raya tercekat di tenggorokan. Bukan karena cemburu, tapi karena syok. Itu Sekar. Sahabatnya dari kehidupan yang lain, dari masa ketika ia masih seorang gadis biasa dengan mimpi-mimpi yang belum dipoles.
Dunia seakan menyempit, hanya ada mereka berdua.
“Sekar?” Suara Raya nyaris tak terdengar, sebuah bisikan penuh ketidakpercayaan.
Sekar menoleh, dan matanya melebar dalam pengakuan yang sama terkejutnya. “Raya? Astaga… ini benar kamu?”
Mereka saling mendekat, canggung pada awalnya, lalu berpelukan. Dalam pelukan singkat itu, lima belas tahun seolah melebur. Tiba-tiba saja Raya bukan lagi istri seorang diplomat, melainkan gadis SMA yang pernah berbagi rahasia dan sekaleng soda di belakang panggung pentas drama.
“Sudah berapa lama?” tanya Raya, melepaskan pelukan.
“Lima belas tahun, mungkin lebih. Terakhir kali di acara perpisahan, sebelum kau terbang ke Melbourne,” jawab Sekar, senyumnya masih sama, sedikit malu-malu.
Raya tertawa, tawa yang tulus, yang jarang ia keluarkan belakangan ini. “Aku masih menyimpan suratmu. Yang kau selipkan di buku catatanku.”
Mata Sekar berkaca-kaca. “Kukira kau sudah membuangnya bersama semua kenangan lama.”
Arga berdiri diam di samping mereka, seorang penonton yang sabar. Raya menoleh padanya, senyumnya sedikit memudar saat kembali ke masa kini. “Arga, aku dan Sekar… kami sahabat baik di SMA.”
Sekar mengangguk, menyelinapkan lengannya ke lengan Arga dengan gerakan yang begitu alami, gerakan yang membuat sesuatu di dalam diri Raya terasa perih. “Raya, kenalkan, ini suamiku. Arga Janitra.”
Dan di sanalah. Momen itu. Momen ketika dua dunia Raya yang terpisah—masa lalu yang penuh tawa dan masa kini yang penuh aturan—bertabrakan dengan keras. Pria yang telah menyelinap ke dalam pikirannya selama beberapa minggu terakhir, pria yang menjadi music director dalam proyeknya, ternyata adalah suami dari sahabat yang telah hilang dari hidupnya. Rasanya seperti lelucon kosmik yang kejam.
“Kami sudah kenal,” kata Raya, berusaha menjaga suaranya tetap stabil. “Arga bekerja untuk proyek musikalku.”
Beberapa menit kemudian, Bagas bergabung, menyempurnakan kuartet yang canggung itu. “Bagas, kenalkan, ini Arga Janitra,” kata Raya, “dan ini istrinya, Sekar Amara. Sekar adalah sahabat SMA-ku.”
Bagas menyalami keduanya dengan ramah. “Senang bertemu dengan Anda. Tim kreatif kami tidak henti-hentinya memuji Anda, Pak Arga.”