LANGIT KEDUA

IGN Indra
Chapter #14

Tak Terucap, Di Balik Tirai - Part I

Jakarta, kota yang tak pernah benar-benar memejamkan mata, kini menggeliat di bawah sapuan cahaya matahari pagi yang menembus tanpa permisi ke dalam sebuah ruangan berdinding kaca. 


Dari lantai 25 sebuah gedung pencakar langit di jantung Sudirman, kota ini terhampar seperti sebuah maket rumit yang dibuat dari baja, kaca, dan jutaan ambisi yang saling bersahutan dalam balapan tanpa akhir.

Namun, di dalam ruangan ini, ada sebuah sela. Oase buatan yang dirancang untuk menenangkan jiwa-jiwa yang letih oleh hiruk pikuk di bawah sana. Dindingnya dicat putih bersih, beraksen panel kayu jati hangat yang mengeluarkan aroma samar menenangkan. 


Beberapa tanaman hijau menjuntai malas dari pot gantung di langit-langit, menjadi simbol upaya keras kepala untuk membawa serpihan alam ke dalam jantung metropolis yang beton. Kantor ini lebih dari sekadar ruang rapat; ia adalah sangkar emas, bagai studio di antara awan. Dan pagi ini, keheningannya yang terkalkulasi akan dipecahkan oleh suara yang lahir dari kedalaman hati, suara yang berpotensi mengubah segalanya.


Budiman, di akhir usianya yang lima puluhan memancarkan aura ketenangan yang menipu—matanya yang tajam tak pernah melewatkan satu detail pun—duduk dengan punggung tegap di atas kursi kulit berwarna cokelat tua. Gerakannya terukur, menyerupai seorang biksu, namun tatapan matanya yang terpaku pada dua orang di hadapannya memancarkan konsentrasi seorang predator. Di depannya, di atas meja mahoni yang mengilap, sebuah speaker aktif JBL berdiri tegak, desainnya yang minimalis terlihat angkuh, terhubung oleh seutas kabel ke MacBook milik Arga Janitra.


Di samping Arga, Raya berdiri memegang clipboard kecil, menggenggamnya begitu erat seolah benda itu adalah perisai yang bisa melindunginya.


Ia berusaha keras untuk menyamarkan debaran di dadanya, meyakinkan dirinya bahwa ini murni debaran profesional, ketegangan yang muncul sebelum presentasi penting dimulai. Tapi ia tahu ia sedang membohongi dirinya sendiri. Debaran ini berbeda. Ia lahir dari kedekatan fisik dengan pria di sampingnya, dari aura Arga yang semakin hari semakin sulit untuk ia definisikan dengan logika, dan semakin mustahil untuk diabaikan oleh hatinya.


Setiap detail kecil tentang Arga terasa diperkuat oleh panca inderanya pagi ini. Rambutnya yang sedikit berantakan, seolah jemarinya baru saja frustrasi menyisirnya setelah semalaman bekerja. Kerutan tipis di sudut matanya yang muncul bukan karena usia, tapi karena kurang tidur dan tawa yang sesekali berhasil meledak di tengah tekanan. Bahkan aroma samar kopi hitam dan kertas yang menguar dari kemejanya, semua itu terasa begitu nyata, begitu kuat, dan entah bagaimana, terasa seperti ‘rumah’ bagi bagian dari jiwa Raya yang telah lama kehilangan tempat berteduh.


"Baik, Pak Budiman," ujar Arga. Suaranya tenang, sebuah bariton yang terkendali, namun ada getaran halus di dasarnya, dalam frekuensi rendah yang mungkin hanya bisa ditangkap oleh Raya. Ia menekan tombol spasi di keyboard-nya, memperlihatkan gerakan kecil yang terasa seperti memutar kunci ke dunia lain.


"Yang akan Bapak dengar ini adalah tema utama dari pertunjukan musikal yang sedang kami siapkan. Judul sementaranya… Simfoni Kedua."


Raya mengangkat wajahnya seketika, matanya bertemu dengan tatapan Arga selama sepersekian detik. Simfoni Kedua. Judul itu baru baginya. Arga tidak pernah sekalipun menyebutkannya dalam diskusi-diskusi panjang mereka, dalam malam-malam tanpa tidur yang dihabiskan untuk menyusun proposal. Tapi saat kata-kata itu meluncur dari bibir pria itu dengan keyakinan yang begitu dalam, hati Raya langsung memahaminya dalam susunan bahasa yang tak memerlukan kata. Ini bukan tentang pengulangan. Bukan tentang babak baru yang akan menghapus yang lama. Simfoni Kedua adalah pengakuan. Pengakuan bahwa ada bagian dari diri mereka yang tak bisa mati, yang tak bisa dihapus, dan kini diberi nama. 


Kehidupan paralel yang sama nyatanya, sama sahnya. Ruang di mana jiwa bisa bernapas tanpa harus mengkhianati simfoni yang pertama.


Kemudian, musik mulai mengalun.


Dimulai dengan sangat pelan. Instrumen solo piano yang terdengar seperti tetesan embun pagi yang jatuh di ujung daun, satu per satu, murni dan penuh keraguan. Nada-nadanya seperti bisikan dari masa kecil yang terlupakan, gambaran kenangan yang terkubur di bawah lapisan-lapisan kekecewaan dan tanggung jawab orang dewasa. Setiap not ditekan dengan perasaan yang begitu mendalam, tidak tergesa-gesa, seolah sang pianis ingin memastikan pendengarnya masih sempat menarik napas dalam-dalam sebelum diseret ke dalam pusaran emosi yang tak terhindarkan. Piano itu merupakan pengantar, undangan santun yang memanggil jiwa untuk mendekat.


Lalu, seperti kabut yang merayap naik dari lembah, muncul lapisan gesekan biola. Tidak menusuk, tidak melengking, tapi cukup untuk memberi nuansa langit subuh yang perlahan berubah warna. Hangat, samar, sarat dengan harapan yang meluap-luap. Ada semacam kerinduan yang universal dalam melodi biola itu, kerinduan yang bisa menembus dinding hati seorang eksekutif produser maupun seorang produser.


Arga tidak bicara. Ia hanya duduk bersandar di kursinya, tatapannya kosong menembus layar MacBook-nya. Tapi dari cara tangannya terkepal di atas paha, buku-buku jarinya memutih, Raya bisa melihat dengan jelas bahwa ia sedang menahan badai emosinya sendiri. Ia adalah konduktor bagi perasaannya, berusaha keras agar bendungan itu tidak jebol.


Raya tidak bisa menahan diri. Ia memejamkan mata, menyerah. Ia membiarkan melodi itu meresap ke dalam setiap sel tubuhnya, membiarkan imajinasinya melayang bebas, melukis sebuah kanvas di balik kelopak matanya. Irama itu membentuk gambaran yang begitu jelas: seorang wanita berdiri di balkon sebuah rumah panggung di tepi danau yang airnya tenang seperti cermin. 


Ia memandangi awan yang bergerak lambat di langit sore. Angin sepoi-sepoi menyingkap helai rambutnya, membelai pipinya yang dingin. Dalam kesunyian itu, ia sedang menunggu. Menunggu sesuatu yang mungkin tidak akan pernah datang, menunggu seseorang yang mungkin tidak akan pernah kembali. Tapi ia tetap yakin. Musik ini bukan tentang kepastian. Ia adalah ode untuk keyakinan itu sendiri. Himne tentang kerapuhan harapan, tentang kekuatan untuk tetap berdiri tegak meski badai tak kunjung reda. Lagu itu seolah berbisik, Aku tahu kau ada di suatu tempat, dan itu sudah cukup bagiku.


Di seberang meja, Budiman tampak membeku. Tatapannya terpaku pada speaker, seolah ia bisa melihat not-not balok melayang keluar dari sana. Tangannya yang biasa bergerak menandatangani cek bernilai miliaran rupiah kini diam, menopang dagu. Tubuhnya condong ke depan, seperti seorang mahasiswa yang terpesona oleh kuliah dosen favoritnya. Ia mendengarkan dengan cara yang tidak biasa. Bukan seperti seorang pengusaha yang menilai potensi pasar. Bukan seperti seorang kolektor yang menaksir nilai sebuah karya seni. Ia mendengarkan seperti seorang manusia yang kembali disentuh oleh sesuatu yang telah lama hilang dari hidupnya. Sesuatu yang fundamental, yang ia sendiri mungkin telah lupa pernah memilikinya. Ada kerutan tipis di sudut matanya, memancarkan perlawanan kecil terhadap gelombang emosi yang berusaha keluar.


Melodi piano dan biola terus berpilin, menari bersama, menciptakan jalinan emosi yang semakin kompleks. Menjelma tarian kepedihan yang hadir di antara melankoli dan harapan.


Setelah dua menit yang terasa sakral, di mana waktu seolah berhenti berdetak di dalam ruangan itu, tiba-tiba piano berhenti. Hening. Satu detik. Dua detik. Menjadi jeda yang terasa seperti penantian abadi, bak napas yang tertahan di paru-paru.


Lalu, bum.


Sebuah dentuman perkusi yang dalam dan bulat masuk, diikuti oleh suara cello yang berat, penuh perasaan, dan menawan. Iramanya berubah drastis. 


Lihat selengkapnya