Dua tahun setelah mereka mengucap janji, Arga akhirnya mendapatkan apa yang selama ini ia sebut sebagai “kesempatan emas”. Sebuah kesempatan untuk menangani pertunjukan teater musikal lintas negara, Gema Samudra. Proyek itu datang seperti gelombang pasang, menjanjikan cakrawala baru yang berkilauan, namun juga menuntut segalanya sebagai imbalan. Waktu, energi, kewarasan, dan bahkan, seperti yang kemudian Sekar sadari, kesehatan.
Saat itu, Sekar sedang hamil muda. Dunia di dalam dirinya sedang bertumbuh dengan tenang, kontras yang tajam dengan dunia Arga yang berputar semakin cepat. Mual di pagi hari menjadi teman akrabnya, bersamaan dengan kelelahan yang terasa seperti selimut tebal yang membebaninya sepanjang hari. Meskipun begitu, ia masih sering datang ke studio latihan di sebuah gudang tua yang pengap di pinggiran Jakarta. Ia akan datang menjelang makan siang, membawa kotak bekal yang ia siapkan dengan susah payah di antara gelombang mual. Isinya seringkali sederhana, nasi dengan tumis sayur dan ayam goreng, makanan yang ia tahu bisa membangkitkan selera makan Arga yang seringkali hilang ditelan stres.
Kadang, kedatangannya nyaris tak disadari. Arga akan berada di tengah panggung, berdebat sengit dengan penata musik tentang satu bar nada yang terasa kurang pas, atau berbicara di telepon dengan nada tinggi kepada vendor properti yang telat mengirimkan barang. Sekar akan menunggu dengan sabar di kursi plastik yang keras di sudut ruangan, mengamati suaminya yang bergerak seperti api, membakar dirinya sendiri untuk menghidupkan pertunjukan itu.
“Oh, kamu di sini,” sapa Arga suatu hari, baru menyadari kehadiran Sekar setelah hampir satu jam. Matanya tampak lelah, ada lingkaran hitam di bawahnya yang tidak bisa ditutupi oleh semangatnya. “Maaf, aku lagi pusing banget.”
Sekar hanya tersenyum. “Nggak apa-apa. Dimakan dulu, ya? Nanti keburu dingin.”
Kadang Arga lupa makan. Kadang ia bahkan lupa menyapa. Tapi Sekar tetap datang. Karena ia tahu, di tengah semua kekacauan itu, kotak bekal sederhana darinya adalah satu-satunya jangkar yang menahan Arga agar tidak sepenuhnya hanyut terbawa arus.
***
Hari pertunjukan besar itu tiba. Langit Jakarta sejak pagi sudah mendung, seolah ikut merasakan firasat buruk yang coba ditepis oleh semua orang. Dan benar saja, semuanya berjalan kacau. Bencana dimulai sehari sebelumnya, saat salah satu aktor utama pria mengalami cedera pergelangan kaki saat latihan terakhir. Kepanikan menyebar di belakang panggung seperti wabah. Arga, dengan wajah pucat namun berusaha tenang, menghabiskan sepanjang malam merevisi naskah bersama penulis, memotong beberapa adegan penting, mengubah alur cerita secara drastis.
Malam pertunjukan, Sekar duduk di barisan penonton, jantungnya berdebar lebih kencang daripada saat ia melihat dua garis di alat tes kehamilan. Dari kursinya, ia bisa melihat semua celah yang tidak dilihat penonton biasa. Aktor pengganti yang gugup dan sesekali lupa dialog, transisi musik yang terasa janggal karena pemotongan adegan, dan beberapa kursi kosong yang menyebar di antara penonton, menjadi saksi bisu dari target penjualan tiket yang tidak tercapai. Tepuk tangan di akhir pertunjukan terdengar sopan, namun tidak bergemuruh. Kritikus teater yang hadir malam itu menulis ulasan dengan judul pedas keesokan harinya: “Gema yang Sumbang dari Samudra yang Dangkal.”
Setelah penonton terakhir meninggalkan gedung teater, meninggalkan keheningan yang memekakkan, Arga masih berdiri di tengah panggung. Ia mengucapkan terima kasih kepada setiap kru satu per satu, suaranya terdengar datar dan kosong. Ia memeluk para aktor, menepuk pundak mereka, mengatakan bahwa mereka sudah melakukan yang terbaik. Tapi matanya tidak di sana. Jiwanya telah pergi, meninggalkan raga yang kelelahan.
Ketika semua orang telah pulang, menyisakan panggung yang telanjang dengan properti yang setengah dibongkar, Arga duduk sendirian di tepi panggung. Pundaknya yang biasanya tegap, kini terkulai. Matanya menatap kosong ke deretan kursi yang gelap. Ia tampak seperti seorang kapten yang kapalnya baru saja karam, terdampar sendirian di pulau antah-berantah.