LANGIT KEDUA

IGN Indra
Chapter #18

Tak Terucap, Di Balik Tirai - Part V

Langit di atas Kemang sore itu tampak seperti kanvas kelabu yang kelelahan. Awan-awan berat menggantung rendah, menekan udara panas Jakarta hingga terasa sesak di paru-paru, menjanjikan hujan yang tak kunjung turun. Di dalam sebuah kafe yang dinding-dinding kacanya meredam bising jalanan, suasananya terasa lebih dingin, lebih terkendali, namun tidak kalah menegangkan. Kafe ini sengaja disewa khusus untuk satu pertemuan, sebuah pertaruhan besar yang digagas oleh Raya.


Raya sendiri duduk dengan punggung lurus di sofa beludru berwarna zamrud, secangkir teh kamomil yang sudah mendingin tergeletak di hadapannya. Ia tampak tenang, setenang permukaan danau di pagi hari. Namun, matanya yang tajam tidak pernah berhenti bergerak, mengawasi rekannya, Arga Janitra, yang duduk di seberangnya.


Arga adalah antitesis dari ketenangan. Jemarinya yang panjang, yang biasanya menari lincah di atas tuts piano, kini sibuk menyiksa sebuah saset gula. Ia merobek ujungnya dengan presisi yang gugup, menumpahkan isinya ke cangkir kopi hitamnya yang ketiga, lalu mengaduknya tanpa henti. Bunyi denting sendok yang membentur porselen menjadi satu-satunya musik di antara mereka, menyerupai ritme kecemasan yang monoton.


“Arga, berhenti,” ucap Raya lembut, suaranya seperti bisikan. “Kau akan melubangi cangkir itu.”

Arga tersentak, seolah baru menyadari apa yang dilakukannya. Ia meletakkan sendoknya dengan sedikit dentang yang lebih keras dari yang dimaksud. “Maaf. Aku hanya… Bagaimana kalau dia tidak suka? Bagaimana kalau dia menganggap ini semua lelucon?”


“Dia tidak akan menganggapnya lelucon,” jawab Raya, nadanya menenangkan, meski ia sendiri merasakan seutas benang tegang di ulu hatinya. “Dia mungkin akan membencinya, itu pilihan dia. Tapi dia tidak akan menertawakannya. Teguh Perkasa tidak menertawakan seni, dia hanya menghakiminya.”


“Itu tidak membuatku lebih baik, Ra,” desah Arga, menyugar rambutnya yang sedikit berantakan. Matanya yang biasanya berbinar penuh melodi, kini meredup, dipenuhi keraguan. Di luar sana, di dunianya yang terbuat dari notasi dan harmoni, Arga adalah seorang jenius, seorang maestro muda yang karyanya dipuji para kritikus. Tapi di sini, di dunia nyata yang menuntut kata-kata dan persuasi, ia merasa seperti anak kecil yang kehilangan suaranya.


Raya hendak membalas, mencoba menyuntikkan sedikit lagi keberanian pada sahabatnya itu, ketika pintu kaca kafe berayun terbuka. Seorang pria melangkah masuk.


Waktu seolah melambat. Pria itu, Teguh Perkasa, tidak tinggi menjulang, tetapi kehadirannya mengisi ruangan seketika. Ia mengenakan kemeja linen hitam yang sedikit kusut, celana kargo pudar, dan sepasang mata yang tampak telah melihat segalanya—dan tidak terkesan oleh apa pun. Ada aura kelelahan yang terpelajar dalam dirinya, kelelahan seorang idealis yang sudah terlalu sering dikecewakan. Ia terlambat dua puluh menit, keterlambatan yang terasa disengaja, menjadi simbol pernyataan bahwa waktunya lebih berharga dari waktu mereka.


“Raya Sarasvati?” tanyanya, suaranya serak dan dalam, tidak ditujukan sebagai pertanyaan melainkan konfirmasi. Ia melirik sekilas pada Arga, tatapannya begitu tajam seolah bisa membedah komposisi musik hanya dengan melihat penciptanya.


Raya berdiri, mengulurkan tangan. “Pak Teguh. Terima kasih sudah bersedia datang. Ini Arga Janitra.”


Teguh menyambut uluran tangan Raya dengan jabat tangan yang singkat dan dingin, lalu hanya mengangguk ke arah Arga. Ia tidak duduk. Sebaliknya, ia berjalan pelan mengitari meja, matanya memindai interior kafe yang minimalis dan mewah.


“Tempat yang bagus,” ujarnya, nadanya kering tanpa emosi. “Bersih sekali. Steril. Seperti rumah sakit untuk orang-orang yang punya terlalu banyak uang. Kalian menyewa seluruh tempat ini hanya untuk bicara denganku?”


Raya merasakan pipinya sedikit menghangat. “Kami ingin memastikan pertemuan ini fokus, tanpa gangguan.”


“Fokus,” ulang Teguh, kata itu terdengar seperti sebuah hinaan di bibirnya. Ia akhirnya duduk di kursi tunggal, menjauhkan dirinya dari sofa tempat Arga dan Raya duduk, menciptakan jarak fisik dan psikologis. “Baiklah. Buat saya terkesan. Saya punya waktu empat puluh lima menit sebelum saya harus kembali ke dunia nyata.”


Hening sejenak. Arga menelan ludah, kerongkongannya terasa sekering gurun. Semua kalimat pembuka yang telah ia siapkan semalam suntuk menguap begitu saja.


Raya yang mengambil alih. Ia tahu ini adalah bagiannya. Ia adalah sang produser, sang penerjemah antara dunia Arga yang puitis dan dunia nyata yang brutal.


“Pak Teguh, kami datang membawakan sebuah proposal. Sebuah proyek teater musikal berjudul Langit Kedua.”


Teguh mengangkat sebelah alisnya. Sebuah senyum sinis yang samar tersungging di sudut bibirnya. “Musikal,” katanya, seolah mengucapkan kata yang kotor. “Jadi… nyanyian riang tentang cinta yang tak sampai? Kostum berkelip-kelip? Koreografi yang dipaksakan untuk menutupi cerita yang tipis setipis kertas tisu?”


Serangan itu langsung dan telak. Arga tampak mengkerut di kursinya.


“Bukan seperti itu,” Raya membalas dengan cepat, suaranya tetap terkendali. “Ini bukan sekadar musikal. Ini adalah sebuah opera rakyat modern. Kami ingin mengeksplorasi tema kehilangan dan harapan yang bersemayam di kota ini. Ceritanya tentang orang-orang yang dipaksa meninggalkan rumah mereka, dan mencoba menemukan kembali arti ‘pulang’ di tengah puing-puing kenangan.”


“Mulia sekali,” cibir Teguh, bersandar ke belakang. Ia menyilangkan lengannya di dada, menyiratkan postur defensif yang menantang. “Saya sudah mendengar puluhan konsep seperti ini. ‘Eksplorasi luka’, ‘perjalanan batin’, ‘metafora urban’. Itu semua hanya kata-kata indah untuk menutupi hal yang sama: komersialisasi penderitaan. Jadi, saya tanya sekali lagi, dengan lebih jelas: mengapa saya harus peduli dengan proyek ambisius kalian ini? Apa yang membuatnya berbeda dari puluhan pertunjukan lain yang mencoba terlihat ‘dalam’ tapi sebenarnya hanya ingin menjual tiket?”


Pertanyaan itu menggantung di udara, tajam dan dingin. Raya menatap Arga, memberinya isyarat untuk bicara. Inilah saatnya. Arga harus menunjukkan jiwa dari proyek ini, karena jiwa itu ada di dalam dirinya.


Arga menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan serpihan keberaniannya. Ia menatap lurus ke mata Teguh, menunjukkan tindakan yang terasa seperti menantang badai.


“Karena… karena musiknya jujur, Pak,” ucap Arga, suaranya bergetar di awal, namun perlahan menemukan pijakannya. “Ini bukan tentang nyanyian riang. Ini tentang… suara retakan di hati seseorang saat mereka menyadari semua sudah hilang. Ini tentang harmoni yang ditemukan di tempat paling tak terduga, di antara deru mesin dan tangisan bayi di pengungsian. Langit Kedua…”

Lihat selengkapnya