Musik berhenti. Lampu panggung yang tadinya membakar dengan cahaya keemasan, kini padam satu per satu, meninggalkan panggung dalam kegelapan yang terasa begitu tiba-tiba dan mutlak. Tirai beludru merah yang berat turun dengan suara desiran pelan, seperti sebuah desahan panjang. Pertunjukan telah usai.
Di balik tirai, di dunia yang tidak dilihat penonton, Arga duduk di kursi kayu reyot di samping panggung. Ia masih mengenakan kostumnya sebagai tokoh utama Langit Kedua—kemeja lusuh, syal biru yang melambangkan harapan yang tersisa, dan sepatu yang solnya sengaja dibuat aus. Tangan kirinya memegang botol air mineral yang sudah separuh kosong, sementara tangan kanannya menutupi mata, seolah mencoba menahan dunia agar tidak masuk. Napasnya terengah, seperti seseorang yang baru saja berlari maraton atau melawan sesuatu yang tak kasatmata dan tak bisa dimenangkan.
Raya menghampirinya perlahan. Langkahnya nyaris tak terdengar di atas panggung kayu yang luas itu. Ia juga masih mengenakan kostumnya dari adegan terakhir, gaun putih sederhana dengan sulaman awan dan bintang perak di bagian dadanya. Di bawah cahaya temaram dari lampu kerja di belakang panggung, mereka tampak seperti dua bayangan yang kelelahan, dua arwah yang saling menunggu untuk dihidupkan kembali setelah menghabiskan seluruh energi mereka untuk menghidupkan sebuah fiksi.
“Kau tahu?” kata Arga, suaranya pelan dan serak, tangannya masih menutupi wajah. “Kadang aku berpikir kita ini cuma para Sisyphus.”
Raya tidak langsung menjawab. Ia memilih untuk duduk di lantai panggung yang terasa dingin menembus kain gaunnya, memeluk lututnya. Ia menatap lantai kayu yang penuh goresan dan bekas selotip, seolah di sanalah jawaban atas segalanya tertulis. “Maksudmu?” tanyanya, lebih karena ingin mendengar Arga mengatakannya daripada karena tidak mengerti.
Arga akhirnya menurunkan tangannya. Matanya merah dan lelah, tapi ada percikan aneh di sana, percikan yang hanya muncul setelah ia menumpahkan segalanya di atas panggung. “Setiap malam,” ia memulai, “kita mendorong batu pertunjukan ini ke atas bukit. Kita dorong dengan sekuat tenaga, dengan musik, cahaya, dialog, tarian, dan semua emosi yang bisa kita peras dari dalam diri. Kita sampai di puncak saat penonton bertepuk tangan. Lalu saat lampu mati dan mereka pulang, batu itu jatuh lagi ke dasar. Besok, kita harus datang lagi ke panggung yang kosong ini dan mengulang semuanya dari awal. Mendorongnya lagi. Dan lagi.”
Raya tertawa kecil, tawa yang tidak membawa kegembiraan, hanya sebuah pengakuan yang getir. “Dan yang paling menyedihkan,” timpalnya, “adalah penonton yang bertepuk tangan itu mengira apa yang mereka lihat adalah sebuah kemajuan. Sebuah puncak.”
“Padahal kita hanya… berputar di dalam absurditas yang indah.”
Hening sejenak. Hanya terdengar suara kru yang mulai membongkar properti di kejauhan, suara palu dan obrolan yang sayup-sayup. Itu adalah suara dunia nyata yang perlahan merayap masuk ke dalam gelembung mereka.
“Tapi kau tetap naik ke panggung setiap malam, Arga,” kata Raya lembut, menatap profil suaminya yang tajam di bawah cahaya remang. “Kau tetap memilih untuk mendorong batu itu.”
“Karena kalau tidak, aku akan benar-benar mati,” jawabnya lirih, begitu jujur hingga terasa menyakitkan. “Kau tahu apa yang paling menakutkan dari hidup ini, Ra? Bukan absurditasnya. Bukan kerja keras yang sia-sia. Tapi diamnya. Kekosongan yang datang setelah semua suara padam. Aku lebih baik mendorong batu ini selamanya daripada harus duduk diam di dasar bukit yang sunyi.”
Raya menghela napas panjang. Ia berdiri, berjalan perlahan ke tepi panggung, menatap ke arah deretan bangku penonton yang kini kosong dan gelap. Hanya beberapa jam yang lalu, kursi-kursi itu diisi oleh ratusan orang asing, masing-masing dengan harapan dan lukanya sendiri. Kini, yang tersisa hanyalah keheningan dan beberapa lembar program yang tergeletak di lantai. Tangannya tanpa sadar menggenggam naskah lusuh Langit Kedua yang tergeletak di meja properti.
“Lucu ya…” katanya, lebih pada dirinya sendiri. “Karakter-karakter di dalam naskah ini, mereka semua bicara tentang ‘langit kedua’. Surga. Pelarian. Sebuah dunia yang tak menyakitkan. Tapi bahkan di dalam fiksi yang kita ciptakan pun, mereka tidak pernah benar-benar sampai ke sana.”
Arga ikut berdiri, kini berdampingan dengannya, bahu mereka nyaris bersentuhan. Mereka berdua menatap lautan kursi kosong yang sama. “Mungkin karena langit kedua memang tidak ada,” katanya. “Mungkin itu hanya sebuah ide, sebuah alasan untuk terus bergerak. Mungkin yang benar-benar ada hanyalah panggung ini. Batu ini. Dan putaran yang tak pernah selesai.”
“Lalu untuk apa semua ini?” bisik Raya, pertanyaan yang mungkin sudah ia tanyakan pada dirinya sendiri ribuan kali saat merasa lelah atau putus asa. “Untuk apa semua keringat dan air mata ini jika pada akhirnya kita kembali ke titik nol?”