Dari balik jendela mobil, lampu-lampu Jakarta berpendar seperti janji-janji yang ditebar di atas kain beludru hitam. Cantik, tapi kau tak pernah tahu mana yang asli. Setelah seharian penuh terkurung di dalam ruang rapat yang pengap, dengan sisa aroma kopi instan dan ambisi yang menguap, Arga akhirnya bisa bernapas. Rasanya seperti baru saja menyelesaikan maraton yang tidak pernah ia daftari. Di sampingnya, Raya menyandarkan kepala ke jendela, keheningannya terasa lebih berat daripada semua kebisingan yang sengaja mereka tinggalkan di gedung kantor.
Mereka baru saja menyelesaikan revisi kedua Langit Kedua. Sebuah naskah yang mereka rawat seperti anak sendiri selama berbulan-bulan. Kisah tentang cinta, kehilangan, dan keberanian untuk jatuh. Setiap dialognya dipoles, setiap adegannya ditimbang. Mereka telah menciptakan dunia yang begitu jujur di atas kertas. Ironis, pikir Arga, karena dunia mereka sendiri terasa seperti draf yang terus-menerus direvisi tanpa pernah disetujui.
Ia melirik Raya. Cahaya dari papan reklame menyorot wajahnya, memperlihatkan kelelahan yang tidak bisa ditutupi oleh riasan tipis. Ada gurat kecil di antara alisnya, gurat yang sama yang selalu muncul setiap kali mereka buntu di adegan ketiga. Arga tahu setiap ekspresi wanita itu lebih baik daripada ia mengetahui alur di telapak tangannya sendiri. Dan pengetahuan itu, entah kenapa, terasa berbahaya.
“Lucu, ya,” suara Raya memecah lamunan, begitu pelan hingga nyaris terserap oleh jok mobil. “Kita bisa menulis adegan paling jujur untuk orang lain, tentang perasaan yang paling rumit sekalipun, tapi bahkan tidak bisa memulai satu kalimat jujur untuk diri kita sendiri.”
Arga tersenyum tipis, senyum yang terasa seperti otot yang sudah lama tidak digunakan. “Karena naskah punya akhir, Ra. Kita sutradaranya. Kita bisa memilih kalimat penutupnya, memudarkan lampu, dan selesai. Tapi hidup… hidup tidak memberimu kemewahan itu. Tirainya tidak pernah benar-benar turun.”
Mobil berhenti di lampu merah, sebuah jeda yang dipaksakan oleh kota. Di luar, dunia terus bergerak—motor-motor menyelinap, penjual tisu mengetuk kaca, klakson bersahutan. Tapi di dalam mobil Ford Fiesta tua milik Arga, waktu seolah membeku. Hanya ada mereka berdua, terkurung dalam gelembung kecil berisi kebenaran yang tak terucap.
“Menurutmu, kita ini apa di dalam cerita ini?” tanya Raya, matanya menatap pendar lampu di aspal yang basah oleh gerimis yang baru saja reda.
Arga tidak perlu berpikir lama. Metafora ini sudah sering ia mainkan di dalam kepalanya saat menidurkan Langit, putranya, atau saat menatap punggung Sekar, istrinya, yang sudah terlelap di sampingnya. “Mungkin kita ini subplot,” katanya. “Bagian cerita sampingan yang karakternya ditulis terlalu dalam, terlalu hidup, sampai-sampai mereka lupa kalau mereka bukan pemeran utama.”
Raya tertawa kecil. Suara yang terdengar seperti pecahan kaca yang indah. Tawa yang tidak membawa kegembiraan, hanya pengakuan pahit atas sebuah kebenaran. “Sebuah subplot yang mengganggu,” koreksinya. “Yang membuat alur utamanya jadi terasa… kurang.” Ia berhenti sejenak. “Kalau kau bisa menulis ulang semuanya… dari awal…” ia menggantungkan kalimatnya, seperti seseorang yang takut mendengar jawaban atas doanya sendiri.
Arga menoleh. Ia menatap Raya sepenuhnya, bukan lagi sebagai rekan kerja, tapi sebagai… Raya. Wanita yang memahami bagian tergelap dari ambisinya dan bagian paling rapuh dari hatinya. Dan dalam sorot matanya yang lelah, Raya menemukan jawaban sebelum Arga sempat mengucapkannya.
“Aku akan tetap menulis kamu di dalamnya,” kata Arga, suaranya dalam dan mantap, seolah itu adalah satu-satunya hal yang pasti di dunia ini. “Tanpa ragu. Tapi mungkin… aku akan meletakkanmu di bab yang berbeda. Bab di mana aku bertemu denganmu sebelum aku berjanji pada orang lain. Bab di mana kata ‘kita’ tidak terasa seperti sebuah pengkhianatan.”
Lampu lalu lintas berubah hijau. Mobil kembali melaju, namun hati mereka tetap tertinggal di persimpangan jalan itu, membeku dalam sebuah pengakuan.
Radio, yang sedari tadi hanya mengeluarkan bunyi statis, tiba-tiba menangkap frekuensi sebuah stasiun radio tua. Mengalunlah sebuah lagu folk dari penyanyi yang namanya sudah lama mereka lupakan, tapi melodinya terasa begitu akrab. Lagu yang pernah mereka putar berulang-ulang di studio saat pertama kali merancang Langit Kedua, saat semuanya masih terasa seperti petualangan yang menyenangkan. Lagu tentang seorang pelaut yang mencintai seorang wanita di darat, dua kehidupan yang selamanya dipisahkan oleh lautan. Betapa klise, dan betapa tepat.