Kabut menggantung rendah, membungkus tubuh-tubuh mereka saat perahu kecil itu menembus danau luas yang sunyi. Di kejauhan, tak terlihat apa-apa kecuali kabut yang mengambang seperti roh-roh tua yang kehilangan tempat pulang.
Kael duduk di haluan, diam, menatap air yang bergelombang pelan di bawah cahaya rembulan. Angin tak banyak bicara malam itu. Seolah tahu bahwa di wilayah Klan Air, angin hanyalah tamu—dan air adalah tuannya.
“Berapa jauh lagi?” tanya Zarek dari buritan, tangannya masih memegang dayung dengan sabar.
Lyra membentangkan gulungan peta Etheria yang basah sebagian. “Hampir tiba. Kuil Air tidak terlihat oleh mata biasa. Tapi di bawah bayangan bulan purnama, refleksinya akan muncul.”
Kael memejamkan mata. Nafasnya mulai menyatu dengan aliran air. Entah sejak kapan, ia bisa merasakan sesuatu yang bergerak dalam kedalaman—bukan makhluk, tapi seperti... gema dari masa lalu. Kenangan yang tidak ia miliki, namun menekan pikirannya seperti beban yang tak ia pahami.
Tiba-tiba, kabut menipis, dan permukaan danau mulai berkilau. Tepat di tengah lingkaran kabut, sebuah pantulan muncul di permukaan air—menampakkan siluet kuil dengan menara ramping dan jembatan air yang mengambang di atas ombak tak kasatmata.
“Di situ,” bisik Lyra. “Itu Kuil Air.”
---
Perahu mereka meluncur menuju pantulan itu, dan sesaat sebelum menyentuhnya—dunia berubah. Air tidak lagi basah. Udara tidak lagi terasa. Mereka seolah melewati tirai transparan yang memisahkan dunia nyata dari dimensi kenangan.
Kael membuka matanya. Mereka kini berdiri di atas jembatan kaca yang mengapung di atas danau biru yang terlalu tenang untuk disebut alami. Di sekeliling mereka, pilar-pilar air berdiri seperti obelisk hidup. Cahaya biru berpendar dari dasar danau, membuat segala sesuatu tampak seperti bergerak lambat.
Kuil Air berdiri di depan mereka. Sebuah bangunan melengkung yang seluruhnya terbuat dari es dan kristal bening. Tidak ada penjaga. Tidak ada suara. Hanya gema tetes air dari langit-langit yang seolah terus mengingatkan bahwa waktu di tempat ini berjalan berbeda.
---
“Tempat ini...” Kael berbisik. “Seperti... bukan dunia.”
“Itu karena kau berjalan di atas ingatan air,” jawab Lyra. “Kuil ini hanya bisa diakses oleh mereka yang membawa niat tulus atau... luka yang dalam.”
Zarek menyentuh dinding kuil, dan air di dalamnya bergerak mengikuti jarinya. “Mereka melihat kita,” gumamnya. “Air itu tahu siapa kita.”
Mereka melangkah masuk ke dalam. Lantai dari kristal biru memantulkan bayangan mereka, tapi bayangan itu tidak selalu bergerak selaras. Kadang, Kael melihat dirinya masih anak-anak. Kadang, bayangan Lyra tersenyum pada ayahnya. Dan kadang, Zarek melihat dirinya sendiri terbaring di medan perang.
Kael menelan ludah. “Tempat ini bukan hanya kuil. Ini... semacam cermin.”
“Cermin yang tak bisa kau bohongi,” jawab Lyra. “Semua luka, semua ingatan, akan kembali.”
---