[ZAREK]
Angin di wilayah batas utara Varellia tidak membawa kabar. Ia hanya menggesek kulit seperti bisikan dingin yang tak punya makna. Tapi bagiku, angin selalu menyimpan cerita. Terutama ketika tak ada suara lain yang bisa dipercaya.
Kami telah berjalan dua hari meninggalkan Kuil Air, menuju tempat yang hanya Lyra tahu arah pastinya. Cermin Dunia. Tempat yang bahkan para Penjaga Pilar hanya bisikkan di tengah mimpi buruk mereka.
Kael berjalan di depan, diam sejak fajar. Lyra di belakangnya, sesekali membaca pecahan peta yang hanya bisa diterjemahkan dengan cahaya Ether.
Aku memperhatikan langkah mereka. Kael, dengan bahunya yang makin berat, dan mata yang tampak menolak tidur. Lyra, yang berusaha tegar, tapi kupastikan ia membawa beban yang tak kalah gelap dari Kael.
Aku tahu rasanya dibentuk oleh luka. Tapi aku juga tahu bahwa luka bisa menjelma senjata. Aku berharap itu berlaku untuk mereka berdua.
“Berhenti sebentar,” kataku.
Kael menoleh, seperti baru sadar dia sudah berjalan terlalu jauh.
“Kenapa?” tanyanya singkat.
Aku melangkah ke sampingnya. “Karena langkah yang kau ambil bukan sekadar menuju depan, tapi makin menjauh dari dirimu sendiri.”
Ia menatapku, dan untuk sesaat, aku melihat ketakutan dalam matanya. Ketakutan bukan karena musuh, tapi karena dirinya sendiri.
---
[KAEL]
Aku lelah. Tapi bukan tubuhku yang letih. Jiwaku yang terasa seperti tanah retak setelah musim kemarau terlalu panjang.
Zarek menatapku seperti cermin yang tak bisa kusembunyikan. Dan itu menyebalkan.
“Aku tidak tahu lagi mana yang nyata dan mana yang bukan,” gumamku. “Setelah Pilar Air, semuanya terasa... seperti aku sedang bermimpi buruk yang tak bisa bangun.”
Zarek tidak membalas. Dia hanya duduk di batu datar, membuka kantung air, dan menyerahkannya padaku.
“Kalau begitu, tetaplah berjalan,” katanya. “Mimpi buruk hanya bisa diakhiri saat kau berani melawan bayangannya.”
Aku mengambil air itu dan meneguknya pelan. Dingin. Tapi tak cukup untuk membekukan api yang membakar pikiranku.
Aku tidak cerita pada mereka... tentang suara yang masih membisik padaku setiap malam. Tentang tangan tak terlihat yang kadang menyentuh pikiranku saat aku sendirian. Aku takut mereka akan melihatku bukan sebagai Kael, tapi sebagai kunci kehancuran seperti yang ditakuti semua orang.
Aku takut menjadi musuh mereka.
---
[ZAREK]
Langit sore menjelang temaram saat kami tiba di tepi lembah gelap.
“Kita akan masuk ke dalam ini?” tanyaku.
Lyra mengangguk. “Cermin Dunia terletak di dasar lembah. Tapi bukan lembah fisiknya yang penting... melainkan yang akan kita temui setelah melintasinya.”