Udara di sekitar kami berubah drastis setelah melewati perbatasan wilayah Klan Api. Aroma hangus dan panas yang menusuk kulit, suara gemerincing api yang tak pernah padam di kejauhan, menciptakan atmosfer yang berbeda dari apa pun yang pernah kami alami.
Kael berjalan di depan, tubuhnya tegap walau terlihat kelelahan yang tersembunyi di balik tatapan matanya yang tajam. Aku bisa merasakan ketegangan yang membara dalam dirinya, seperti bara api yang siap menyulut dalam sekali sentuhan.
Langkahku berat mengikuti jejaknya, tangan menggenggam erat gagang pedang yang mulai terasa hangat, seolah ikut merasakan denyut api yang membakar tanah ini. Zarek ada di sisiku, matanya menyapu pepohonan yang kering dan berasap tipis, selalu waspada.
“Api tidak seperti angin yang bebas dan lembut,” bisik Lyra di sampingku. Suaranya pelan, hampir tenggelam di antara suara desiran angin dan keretak ranting. “Api di sini bukan hanya panas. Ia penuh dendam. Luka lama. Aku takut... Kael belum siap menghadapi apa yang akan kami temui.”
Aku menatap Lyra dan melihat bayangan keraguan terselip di balik tatapan matanya. Dia selalu tampak kuat dan penuh perhitungan, tapi kali ini, beban yang dipikul Kael mungkin lebih berat dari yang bisa ia ungkapkan.
Sebelum aku sempat bertanya, sebuah suara berat dan penuh wibawa memecah keheningan.
“Kael Ardyn.”
Sosok pria muda berambut merah menyala muncul dari balik semak kering. Sorot matanya menyala seperti bara api yang siap menyulut. Tubuhnya tinggi dan tegap, berbalut pakaian berbahan kasar berwarna merah dan oranye, dengan simbol klan Api terukir di lengan bajunya.
“Aku Rion,” katanya, dengan nada tegas namun penuh tantangan. “Aku penjaga terkuat Klan Api. Aku dengar kau membawa kekuatan yang bisa mengguncang dunia. Aku di sini bukan untuk menghalangimu, tapi mengujimu.”
Kael menghela napas panjang, lalu menatap Rion tanpa sedikitpun ragu. “Kalau itulah yang harus terjadi, aku siap.”