Udara di dalam rumah tua itu terasa berat dan hening, hanya dipecahkan oleh suara rintik hujan yang menetes perlahan di genting atap. Lilin-lilin kecil di sudut ruangan berkelap-kelip, menari-nari di dinding yang dipenuhi gulungan dan buku-buku usang. Seakan seluruh ruangan itu menahan napas, menunggu kata-kata yang akan mengubah takdir.
Kael duduk di seberang pria tua yang menyebut dirinya sebagai penjaga rahasia Klan Api. Matanya berat, membawa beban ketidakpastian dan tanggung jawab yang begitu besar. Di sampingnya, Lyra berdiri tegak, meski ada kerutan kekhawatiran di dahinya. Zarek duduk diam, tangan terkepal di gagang pedangnya, selalu waspada.
Pria tua itu membuka gulungan rapuh yang hampir hancur, memperlihatkan simbol Pilar yang sudah retak dengan tinta pudar. “Umbra bukan sekadar sekte biasa,” katanya perlahan namun tegas. “Mereka adalah bayangan dari kekuatan kuno yang haus akan kehancuran. Raegor, pemimpin mereka, ingin membuka Langit Kelima — kekuatan yang mampu meremukkan dunia ini menjadi abu.”
Kael menghela napas dalam. “Jika aku adalah kunci, apa yang harus kulakukan? Aku takut aku hanya akan membawa kehancuran.”
Pria tua itu menatap Kael dalam-dalam, seakan menyelami jiwa muda itu. “Kau harus belajar mengendalikan Etheria yang mengalir dalam darahmu. Tapi ketahuilah, kekuatan besar datang dengan harga yang mahal. Langit Kelima tidak pernah memberi tanpa mengambil.”
Lyra melangkah maju, suaranya lembut tapi tegas. “Ayahku juga menghadapi pilihan itu. Ia memilih mengorbankan sebagian jiwanya demi menjaga keseimbangan dunia. Namun pengorbanan itu membuatnya terperangkap di antara cahaya dan kegelapan, terasing dari kita semua.”
Kael menatap mereka, matanya penuh keraguan dan semangat sekaligus. “Aku tidak ingin kehilangan diriku. Aku ingin melindungi semua yang kusayangi, tapi aku takut aku akan hilang.”
Di luar jendela, hujan deras menimpa kaca dengan deras, diikuti petir yang menyambar. Suasana di luar seolah menyambut keputusan berat yang akan diambil.
Bisikan dalam dirinya semakin keras.