---
Malam telah benar-benar menyelimuti Kota Merah. Setelah hujan deras yang mengguyur tanpa ampun, udara menjadi dingin dan lembap. Genangan air di jalanan memantulkan sinar rembulan yang tersembunyi di balik awan gelap, menciptakan suasana penuh misteri dan bahaya.
Kael berdiri di depan rumah tua yang menjadi tempat persembunyian mereka, pandangannya menusuk kegelapan di kejauhan. Bayangan-bayangan hitam mulai muncul, membentuk pasukan Umbra yang melangkah dengan tenang tapi penuh ancaman.
Lyra berdiri di samping Kael, matanya menyapu lorong sempit yang mengarah ke gerbang kota. “Mereka datang,” katanya pelan, “Bukan lagi sekadar ancaman. Ini pertempuran hidup dan mati.”
Zarek mengangkat pedangnya, rahangnya mengeras. “Kita harus bertahan, tidak ada jalan mundur.”
Kael mengangguk pelan, menekan tangan Lyra untuk memberi kekuatan tanpa kata. “Malam ini, kita buktikan siapa yang akan bertahan.”
---
Bayangan mulai menyerbu. Kilatan biru Etheria keluar dari tangan Kael, membelah kegelapan. Angin liar menerjang ke depan, menghantam pasukan Umbra dengan kekuatan yang dahsyat.
Namun, mereka tidak berhenti. Gelombang demi gelombang pasukan gelap datang, menyerbu tanpa henti.
Lyra bergerak gesit, pedangnya berkilauan memotong bayangan yang mencoba menyerangnya. “Kael! Sebelah kanan!” teriaknya.
Kael berputar, menciptakan pusaran angin yang menyingkirkan beberapa musuh sebelum mereka menyentuh Lyra. Zarek memanggil akar-akar besar yang muncul dari tanah basah, membentuk benteng pelindung.
Suara benturan senjata, teriakan, dan bisikan gelap memenuhi udara. Setiap serangan Umbra disambut dengan pertahanan gigih dari Kael dan teman-temannya.
---
Di tengah kekacauan, Kael merasakan getaran dalam dirinya—bisikan kegelapan yang berusaha merayunya untuk menyerah. Suara lembut namun menggoda itu menawarkan kekuasaan tanpa batas.
“Serahkan saja, Kael,” bisikan itu mengalir seperti angin lembut yang menyentuh jiwa, “Bersamaku, kau akan bebas dari beban ini.”
Kael menggigit bibirnya, berusaha mengusir bisikan itu. Tapi godaan itu seperti bara api yang membakar di dalam darahnya, menantangnya untuk tunduk.
Lyra menangkap perubahan di wajah Kael. Dengan suara penuh kepedulian, dia berkata, “Kael, ingat siapa kau. Ingat mengapa kau berjuang.”
Kael menatap Lyra, menemukan kekuatan dalam matanya. “Aku tidak akan kalah oleh bayangan ini. Aku akan melindungi kalian... dan dunia ini.”
---
Pertempuran semakin intens saat sosok berjubah hitam yang lebih kuat muncul. Matanya merah menyala penuh kebencian.
“Kael Ardyn,” suara beratnya menggelegar, “Kau terlalu lemah untuk menjadi kunci. Serahkan kekuatanmu dan bergabunglah denganku.”
Kael menyiapkan serangan Etheria, namun sosok itu bergerak terlalu cepat, menyerang lengan Kael hingga terluka. Rasa sakit menyambar, tapi Kael melompat mundur.
Lyra dan Zarek segera menyergap, menyerang musuh bersama-sama, namun sosok itu menghilang ke bayang-bayang.
---
Setelah pertempuran mereda, kami berdiri kelelahan di tengah reruntuhan. Napas terengah-engah, tubuh terasa lelah, tapi hati kami tetap menyala.
Kael menatap langit yang mulai membuka celah awan, menampilkan sedikit bintang. “Kita bertahan,” katanya pelan, “Tapi musuh kita lebih kuat dari yang kubayangkan.”
Lyra mengangguk. “Kita harus menjadi lebih kuat.”
Zarek membersihkan pedangnya. “Kekuatan saja tidak cukup. Kita butuh hati, keberanian, dan strategi.”
---
Suasana setelah pertempuran tidak langsung menjadi tenang. Malam dingin menyesakkan dada kami dengan bisikan ketakutan dan kepenatan yang sulit diusir. Setiap napas terasa berat, seolah udara sendiri menentang langkah kami untuk maju.