Lamunanku tak sempat tumbuh panjang,
karena tangis Jelita tiba-tiba menghilang.
Bukan karena tenang,
tapi karena kelelahan.
Tangisnya menipis,
seperti nyawa yang pelan-pelan berpamitan dari tubuh mungil itu.
Aku gendong dia.
Tubuh kecil yang terasa makin ringan—terlalu ringan untuk bayi seusianya.
Langkah kakiku berubah jadi lari.
Keluar dari kontrakan yang tiba-tiba jadi museum kenangan.
Aku berlari.
Melewati gang-gang kecil,
melewati wajah-wajah yang kukenal tapi tak sempat kupedulikan.
“Faizal!”
“Eh, kenapa bawa anak?”