Sudah dua minggu berlalu.
Aku mulai terbiasa tanpa Ratih.
Mulai merangkak dalam hidup yang pincang.
Jelita tetap kutitipkan pada Bu Rini—dan kupikir itu keputusan terbaik.
Tapi ada yang berubah.
Jelita tak lagi menyambutku dengan tatapan ceria atau gumaman riang.
Ia lebih sering tertidur.
Terlelap dalam pelukan diam, seperti mimpi yang dipaksa datang.
Awalnya aku menepis rasa curiga.
Kukatakan, “mungkin lelah,”
Atau, “mungkin begitulah tumbuhnya bayi.”
Tapi semakin hari, semakin aku merasa—
Jelita bukan tidur karena lelah,