Kukemas lagi barang-barang seadanya.
Satu kantong pakaian,
botol susu yang sudah mulai kosong,
dan sehelai harapan yang semakin menipis seperti kemejaku yang kusam.
Kuangkat kembali Jelita.
Hangat tubuhnya menembus bajuku,
seolah menjadi satu-satunya alasan aku belum menyerah.
“Maaf ya, Nak,” bisikku.
“Kalau hidup terlalu kejam untuk kita. Tapi Ayah janji, Ayah gak akan biarkan kamu berjalan sendiri.”
Dan kuangkat kaki yang sudah mulai gemetar.
Kutapaki lagi jalanan,