Januari 1889
Deru kereta yang ditarik dengan empat ekor kuda terdengar di kejauhan. Debu-debu di sepanjang jalan beterbangan setiap kali keempat kuda tersebut menjejakkan kaki di tanah. Di dalam kereta, duduk seorang gadis yang tak sabar menunggu kereta yang membawanya sampai ke tujuan. Gadis itu meski baru saja mengalami perjalanan yang panjang, terlihat gembira. Pasalnya, sebentar lagi ia akan bertemu dengan semua anggota keluarganya yang selama tiga belas tahun ini berpisah dengannya.
Tiga belas tahun lalu, ayahnya berlayar dari kampungnya di Cina daratan menuju Jawa. Mereka mencari peruntungan di sana. Saat itu memang banyak orang-orang Cina yang merantau ke berbagai tempat untuk mencari keberuntungan. Ada yang ke Singapura, Malaya, Borneo, Jawa, dan Singapura. Salah seorang dari mereka adalah ayahnya yang merantau ke Jawa, tepatnya Batavia1. Ayahnya belum punya pengalaman merantau, sehingga terpaksa meninggalkan Sang Sin dan ibunya di Cina. Dengan sabar mereka menunggu kabar dari sang ayah. Kabar yang ditunggu itu pun akhirnya datang. Sang ayah mengatakan bahwa ia sudah berhasil menjadi orang kaya di Jawa. Awalnya ia memang hanya bekerja sebagai pelayan toko di toko milik warga Tionghoa di zuider voorstad2 sampai akhirnya ia bisa memiliki toko sendiri.
Selain bekerja, ayahnya juga belajar bahasa Malaya dan Belanda agar dapat berkomunikasi dengan masyarakat selain warga Tionghoa. Sikapnya yang ramah dan terbuka kepada siapa pun membuatnya disukai oleh semua orang. Tokonya makin lama makin besar dan ia menjadi salah satu orang Cina terkaya di kampungnya. Ia memiliki sekolah dan rumah sakit khusus untuk orang Tionghoa. Belanda mengangkatnya menjadi Letnan3 yang diberi tugas mengurus perkampungan yang dibagi ke dalam blok-blok di mana setiap blok terdiri atas sepuluh rumah.
Kekayaan memang menjadi syarat mutlak untuk menduduki jabatan itu. Ayahnya bertanggung jawab terhadap Kapten4 dan Kapten bertanggung jawab terhadap Mayor5. Setelah sukses di tanah perantauan itulah, sang ayah menyuruh ia dan ibunya agar menyusul ke Batavia. Sayang, sang Ibu tidak bisa ikut karena sudah meninggal dunia akibat sakit. Kini, hanya ia seorang yang datang sendiri dari Cina menuju Batavia.
Kereta yang membawa gadis Cina itu akhirnya berhenti setelah sampai di tujuan. Salah seorang pengawal yang mengawalnya sepanjang perjalanan membukakan pintu kereta itu untuknya. Gadis Cina itu pun ke luar dari kereta yang telah membawanya dari pelabuhan Sunda Kelapa sampai ke kampung ini. Ia memakai pakaian Cina lengkap berupa baju kurung berwarna merah yang gemerlapan berhiaskan batu permata. Rambutnya dikepang kemudian disanggul dan ditusuk oleh konde yang juga berhiaskan batu permata. Gelang giok berwarna hijau menghias pergelangan tangannya. Bedak sejuk6 yang digunakannya membuat wajahnya yang putih semakin putih. Matanya sipit seperti gadis-gadis Tionghoa kebanyakan. Hidungnya tidak mancung, tidak pula pesek. Bibirnya berhias gincu merah. Berdasarkan standar umum, ia bisa dibilang cantik. Sayang, namanya tidak secantik wajahnya.