Langit Merah Batavia

Leyla Imtichanah
Chapter #2

#2 Sambutan untuk Li Sang Sin

“Putri Sang Sin sudah datang…!” seorang pengawal rumah mewah keluarga Li berseru saat tamu yang ditunggu-tunggu datang. Sang Sin tersenyum melihatnya. Ternyata rumah ayahnya di Batavia sama seperti rumah-rumah di Cina.

Orang Cina memang selalu melestarikan tradisi leluhurnya di mana pun berada. Rumah ayahnya itu seperti model rumah Cina kebanyakan yang dikelilingi oleh dinding bata merah. Jalan menuju pintu rumah dibuat dengan ubin merah yang disemen. Di sekitar rumah terdapat banyak pot dari porselin yang berisi bunga Dahlia, Krisant, Mawar, dan Kamelia. Dua orang pengawal berpakaian Cina klasik menjaga sisi kanan dan kiri rumah. Kedua pengawal itu memakai topi untuk menutupi bagian depan kepala mereka yang dicukur licin1, sedangkan rambut bagian belakang dibiarkan panjang dan dikepang. Sang Sin memasuki pintu rumah itu. Di dalamnya seluruh anggota keluarganya telah menunggu. Seorang pria yang berjenggot putih merenggangkan tangan dan bersiap memeluknya. Sang Sin menduga itu pasti ayahnya yang telah meninggalkannya selama tiga belas tahun saat usianya baru tiga tahun.

“Sang Sin, anakku! Akhirnya kau datang juga!” seru Li Sin Yang. Bapak dan anak itu pun berpelukan. Sin Yang memerhatikan wajah putrinya dengan seksama. Tak disangka putrinya telah menjelma menjadi gadis yang sangat cantik.

“Aku rindu sekali kepadamu, Ayah!” ujar Sang Sin, terharu. Tanpa sadar matanya mengeluarkan air. Pertemuan ini sudah lama dinantikannya. Sin Yang juga menitikkan air mata. Ia pun terharu bisa bertemu kembali dengan anak sulungnya.

“Sayang, ibumu tidak bisa ikut, ya?”

Sang Sin mengangguk. Dihapusnya air mata yang jatuh di pipi. Ia menatap anggota keluarganya yang lain yang berdiri di dekat ayahnya. Itu pasti keluarga dari istri kedua ayahnya.

“Kenalkan, ini ibu tirimu, Wu Yin Jien” Sin Yang menunjuk seorang wanita berbaju kurung berwarna biru yang pandangan matanya tidak ramah. Sang Sin agak takut melihatnya. Apakah ibu tirinya itu tidak suka dengan keberadaannya? Ah, ia tidak boleh berpikiran buruk. Mungkin sikapnya yang tak ramah itu karena mereka baru pertama kali bertemu.

“Hormat, Ibu,” ujar Sang Sin, sopan. Ia menjura kepada ibu tirinya, sebagaimana tradisi orang Cina jika bertemu dengan orang yang dihormati .

Lihat selengkapnya