LANGIT MERAH MUDA

Najma Gita
Chapter #1

1

Katanya, di dunia ini kita bisa menemukan tiga orang yang memiliki kemiripan wajah dengan kita. Meskipun tidak satupun dari mereka yang memiliki kesamaan garis darah, atau mereka tinggal di belahan bumi yang lain, tapi memiliki kemiripan garis wajah. Tidak usah jauh-jauh, contoh di sekitar kita saja banyak. Kita bisa menemukan orang yang wajahnya mirip yang tinggal dalam satu kota, satu kabupaten, satu kecamatan, atau bahkan tinggal di satu RT. Aku mengada-ada? Tentu saja tidak. Lihat saja beritanya di internet. Ada banyak pemberitaan disana perihal orang yang mirip padahal mereka tidak ada hubungan darah sama sekali.

Baru-baru ini aku membaca sebuah artikel di media online yang isinya seorang ibu bertemu dengan laki-laki yang sangat mirip dengan anak laki-lakinya yang sudah meninggal di stasiun. Nah, benar, kan? Aku tidak mengada-ada. Bukan hanya satu artikel saja, berita lainnya masih banyak. Bakalan panjang kalau di sebutkan satu per satu.

Jadi, aku tidak mengada-ada waktu aku pura-pura tidak mengenalinya waktu kami tidak sengaja bertabrakan di Taman Asoka siang ini. Bukan bertabrakan, yang benar aku tidak sengaja menabraknya. Aku sedang buru-buru ingin segera mengganti seragam SMA sialan ini. Kalau Jessica bukan teman baikku, aku sudah menolak mentah-mentah berdandan sebagai murid SMA seperti ini. Kami berteman sejak SMP. Dan sampai sekarang di umurku yang ke 25 kami tetap berteman baik. Sulit menolak permintaannya kalau dia sudah mengeluarkan kedipan matanya. Sampai kesialan ini menimpaku. Ceritanya dimulai dari beberapa jam yang lalu.

Suara alarm di ponselku bersahutan dengan suara mama yang mengetuk pintu kamarku tanpa jeda. Sebagai perempuan mama memang tidak ada lembut-lembutnya, dan sifatnya itu menurun padaku sebagai anak tunggalnya. 

“Zie, bangun,” tangannya tidak akan berhenti mengetuk kalau aku tidak segera keluar. “Astaga, bunyi alarm kamu udah menjerit-jerit dari tadi. Berisiknya kedengaran sampai dapur. Masih nggak bangun juga. Itu telinga apa bunga tahi ayam, sih.”

Mama yang lebay. Paling juga lima menitan, belum terlalu lama, kok. Aku menarik selimut menutupi kepala dan bersiap menaiki kapal berlayar ke pulau mimpi lagi. Ini weekend, dan kantor libur. Jadi aku tidak perlu bangun pagi dan terburu-buru untuk menghindari macet. Aku akan tidur sepuasnya hari ini. 

“Kenzie...” Kali ini mama menaikkan volume suaranya.

“Mama nggak lupa kalau ini weekend, kan?” sahutku dari balik selimut. “Kantor tutup, otomatis aku juga libur.”

“Mama nggak lupa. Bukannya kamu udah janji sama Jess buat bantuin dia hari ini? Lupa, ya?”

Astaga, mataku spontan terbuka selebar-lebarnya. Memang benar, kemarin aku janji akan membantu Jessica sebagai modelnya. Dia bekerja freelance di sebuah tabloid online terkemuka. Tepatnya bukan aku yang ingin membantunya, tapi dia berhasil memaksaku untuk setuju. Ya, Jessica memang menyebalkan. Dia akan menghalalkan berbagai macam cara untuk membuatku mengatakan ‘ya’.

Jessica selalu on time. Dia sangat tidak menyukai kebiasaan ngaretku. Makanya dia jarang tidak ngomel-ngomel kalau janjian denganku. Ya, mau bagaimana lagi, kan? Datang terlambat atau ngaret istilahnya adalah budaya turun temurun yang sudah menjamur. Ya, memang bukan hal yang baik, sih. Tapi sulit lepas dari kebiasaan buruk itu.

Mama masih berdiri di balik pintu waktu aku membukanya. “Jess telepon ke ponsel mama tadi, katanya kamu nggak angkat teleponnya.”

Aku mendesah sebal. “Dia bilang jangan ngaret, kan?” Tebakanku pasti seratus persen benar.

Mama mengangguk. “Bangunin juga adikmu. Semalam dia bilang mau keluar pagi ini. Ada janji dengan teman kuliahnya dulu.”

Aku melongo. Yang benar saja. “Kenapa aku sih, Ma? Dia punya alarm di ponselnya, kan? Nggak harus dibangunin pakai suara manusia. Kayak anak kecil aja.”

“Ponsel kamu juga ada alarmnya. Tapi kamu juga butuh suara mama biar bangun. Sama aja, kan?” Mama berbalik kemudian pergi tanpa menoleh lagi.

Skak mat. Kalau sudah begini tidak ada cara lain selain mengikuti titah ibu suri. Kalau diberi dua pilihan saja, menggoreng telur untuk sarapan orang satu rumah atau membangunkan makhluk menyebalkan itu, tentu aku memilih berkutat dengan minyak panas di dapur. Meskipun harus menjerit saat telur yang kugoreng meletup, setidaknya itu lebih menyenangkan daripada melihat wajahnya yang menyebalkan.

Kamarnya tepat di samping kamarku. Seharusnya dia mendengar rajinnya mama mengetuk pintu kamarku tadi, atau obrolan kami di depan pintu kamar. Rumah ini tidak didesain kedap suara, jadi mustahil dia tidak mendengarnya. 

Aku menarik napas panjang lebih dulu, menyiapkan mata dan hati sebelum melihat wajah datarnya yang menyebalkan. Tanganku terayun bertepatan pintu kamarnya terbuka dari dalam. Dia keluar dengan raut yang... ya seperti biasa. Datar dan menyebalkan. 

“Ada apa?” nadanya datar saja saat bertanya.

“Mama yang nyuruh buat bangunin kamu.”

“Aku udah bangun.” Dia lantas melewatiku begitu saja. 

Tanganku sudah gatal ingin memukul kepalanya. Kemudian membelahnya untuk mengetahui isinya. Untuk melihat apa otaknya masih ada di tempatnya atau jatuh ke kolong waktu dia tidur tadi. Dia memang tidak pernah memanggilku kakak kalau hanya berdua. Memang sih, umur kami hanya selisih dua bulan. Tapi tetap saja aku yang lebih dulu lahir. Jadi, dihitung bagaimanapun caranya aku tetap kakaknya dalam urutan silsilah. Tapi sikapnya akan lain kalau kami sedang berkumpul dalam formasi lengkap. Tampang datar dan menyebalkan akan berubah manis kalau di depan anggota keluarga yang lain.

Kami bukan saudara kandung. Mamaku menikah dengan papanya waktu kami kelas empat SD. Dulu hubungan kami tidak seperti ini. Layaknya saudara yang lain, kami dekat dan akrab. Sikapnya perlahan berubah setelah kami duduk di bangku SMA di tahun ke dua. Dia menjadi dingin dan menyebalkan. 

Lihat selengkapnya