Niat hati ingin membantu teman, malah aku sendiri yang tertimpa masalah. Kalau bukan karena ide gila Jessica, aku tidak akan berada dalam situasi sulit ini. Perempuan sinting itu pusarnya sedang tidak berada di tempat, jadi dia bertindak tidak waras. Contohnya sekarang ini. Aku bisa saja mengaku sebagai orang lain, tapi apa dia percaya? Dia bukan tipe laki-laki yang mudah dibohongi. Jadi aku harus gimana? Sialan. Ada dalam kondisi darurat seperti ini kenapa otakku malah macet? Ya ampun!
“Eh, lo siapa?” Aku mengernyit. Pura-pura tidak kenal dan menjadi orang lain adalah pilihan yang tepat. Jangan sampai dia berpikir aku ini kakak yang aneh dan gemar memakai kostum cosplay. Dandan biasa saja dia sering bilang aku aneh, kok. Apalagi dalam mode murid SMA seperti ini. “Sok akrab banget.” Aku membersihkan sisa-sisa kotoran dari tangan dan rok SMA ku.
“Eh,” dia mengacungkan telunjuknya padaku. “Kamu pura-pura nggak kenal, ya?” Dia menatapku dari atas ke bawah, lalu ke atas lagi. “Ngapain kamu dandan jadi murid SMA kayak gini? Dasar aneh. Kurang kerjaan banget.”
Tuh, kan. Belum apa-apa saja sudah mengataiku aneh. Penilaian buruknya akan bertambah kalau aku tidak berbohong. “Lo yang aneh. Kita nggak saling kenal ya, Om. Nggak usah sok akrab, deh. Nyebelin banget.” Aku terus mengomel. Itung-itung melampiaskan kekesalanku yang kupendam padanya sejak bangun tidur.
“Om?” Dia menunjuk wajahnya sendiri, lantas menatapku ngeri. Rasain! “Saya nggak setua itu kali. Yang benar saja.”
“Emang salah, ya?” aku mengarahkan bola mata ke atas. “Dilihat dari tampang sih, gue yakin usia kita beda jauh. Nggak salah dong kalau dipanggil om?”
Aku terbahak dalam hati. Syukurin. Memangnya cuma dia yang bisa bertindak menyebalkan? Aku bisa lebih dari itu. Melihat rautnya yang menahan kesal merupakan hiburan tersendiri bagiku.
Matanya menyipit menatapku. “Kamu...” Dia lantas menggaruk belakang kepalanya. “Beneran mirip, sih.” Dia meletakkan ibu jarinya di dagu, berpikir.
“Mirip siapa?” aku terus berpura-pura. Sudah terlanjur basah, kan? Ya, sudah mandi saja sekalian.
“Hmm, cewek yang aku kenal.”
Tuh, kan. Dia memang menyebalkan. Mengakui mirip kakaknya saja tidak mau. Aku yakin di sudah disetting seperti itu sejak dalam kandungan. Kasihan ibunya melahirkan anak menyebalkan seperti dia. “Oh, gitu?”
“Bisa minta nomor ponsel kamu?” tanyanya tiba-tiba.
Aku spontan melongo. Orang ini maunya apa, sih? Seharusnya dia langsung pergi setelah ini, eh, dia malah minta nomor ponsel segala. Astaga, cara kerja otak Rakha memang ajaib. Tidak pernah tidak menyebalkan. “Buat apa, Om?” Rautnya terlihat tidak nyaman setiap aku memanggilnya om. Biarin, memangnya aku peduli.
“Pengen kenal kamu aja. Boleh, kan?” Dia menarik bibir, tersenyum. Itu salah satu senjatanya menarik perhatian lawan jenis sehingga banyak perempuan berjatuhan di bawah kakinya hanya dengan modal kerlingan mata dan segaris senyuman. Aku berlebihan? Tentu saja tidak. Aku adalah saksi hidup bagaimana berengseknya adik tiriku ini. Bibit playboy-nya sudah ada sejak dia remaja. Berganti-ganti pacar baginya semudah mengganti celana dalamnya. Jari-jari tangan dan kakiku jika disatukan tidak akan cukup untuk menghitung mantan-mantannya. Kalau semua dikumpulkan menjadi satu, antrean panjang tiket lebaran saja kalah panjang.
“Maksud, Om?” aku pura-pura polos. Tentu aku tahu maksud dan tujuannya setelah mendapatkan nomor perempuan. Aku tidak sepolos itu.
“Bisa nggak sih kamu nggak panggil saya om? Nggak enak banget dengarnya.”
“Jadi aku harus panggil apa?” Aku tertawa kencang dalam hati berpura-pura polos seperti ini. Lama-lama menyenangkan juga. Aku jadi menikmatinya.
“Rakha.” Dia mengulurkan tangan. “Panggil saja Mas Rakha. Jangan panggil om lagi. Saya belum setua itu.”
Ya ampun, apa ini juga termasuk rayuan? Yang benar saja. Itu konyol. lidahku bisa kesleo memanggilnya dengan embel-embel ‘mas’. Lagi pula dalam hatiku ada rasa sedikit tidak rela. Dia saja jarang sekali memanggilku kakak. Ini tidak bisa dibiarkan. Tapi, kalau aku tidak menurut, penyamaranku bisa terbongkar. Dan aku sudah bisa membayangkan reaksinya. Bisa-bisa dia menertawaiku tujuh hari tujuh malam. Memalukan.
Rakha langsung menarik tanganku saat melihatku ragu-ragu membalas jabatan tangannya. “Aku nggak gigit, kok.” Dia tersenyum lagi. “Nama kamu siapa?”
Ini yang belum sempat aku pikirkan. Aku tidak mungkin mengenalkan diri sebagai Kenzie. Bisa langsung ketahuan, dong. “Jess... Jessie.” Cuma nama itu yang melintas di kepalaku. Aku tidak sempat memikirkan nama lain. Semoga saja otak Rakha sedang tumpul sehingga pikirannya tidak terarah ke Jessica. Lagi pula banyak orang yang memiliki kesamaan nama. Tidak hanya satu atau dua orang. Benar, kan?
Rakha melepaskan tangannya. Senyumnya kian melebar. “Namanya cantik, secantik orangnya.”
Aku spontan mengarahkan bola mata ke atas. Maaf-maaf saja, aku tidak akan tersipu mendengar rayuan receh seperti itu. Aku yakin dia sudah mengatakan kata-kata itu pada puluhan perempuan yang ditemuinya sehingga lidahnya selancar jalan bebas hambatan saat mengatakannya.
“Makasih, Om,” aku pura-pura tersipu. Catat, hanya pura-pura. Bukankah begitu kalau anak abg menerima pujian dari laki-laki tampan? Apa aku barusan bilang tampan? Astaga! Kegilaan Jessica mulai menulariku.
Dia mendelik. Aku langsung minta maaf dan mengganti panggilanku menjadi ‘Mas Rakha’. Ya Tuhan, ini konyol. Rasanya seperti berperan dalam drama komedi. Menggelikan.
“Oh ya, Jess. Gimana kalau kita cari tempat buat ngobrol yang enak? Di seberang jalan ada kafe. Lebih enak kita ngobrol disana.”
Astaga, lama-lama makin ngelunjak dia. “Nggak usah, Mas.” Ya kali aku setuju duduk berdua di kafe sama dia. Meskipun disana jauh lebih adem.
“Kenapa?” Rakha mengernyit. “Disini panas, kan? Tuh, lihat. Kamu udah keringetan begitu.”