LANGIT MERAH MUDA

Najma Gita
Chapter #3

3

Aku melihat ada yang berbeda dari aura wajah yang ditampilkan Rakha malam ini. Dia lebih sering tersenyum dan sedikit lebih banyak bicara. Ya, meskipun dia akan langsung memasang tampang membosankan setiap melihatku. Nyebelin, kan? Dia bersikap ramah pada mama dan papa saja. Dan aku adalah pengecualian. Catat, pengecualian. Seharusnya aku menulisnya dengan huruf kapital semua dan ditebalkan. Huh, seperti aku peduli saja. Bahkan kalau di muka bumi ini makhluk yang hidup hanya tinggal kami berdua, aku tidak sudi berbaik-baik dengannya. 

Tidak, aku tidak ada dendam. Kami juga tidak pernah terlibat keributan yang menghebohkan orang satu rumah. Aku tidak ingat perang dingin kami ini dimulai sejak kapan. Yang aku tahu tiba-tiba sikapnya padaku berubah menyebalkan yang membuatku langsung tersulut emosi kalau berada di dekatnya. 

“Apa?” Dia menaikkan alis menatapku waktu aku ketahuan sedang memperhatikannya.

“Kelihatan senang banget? Lagi fall in love, ya?” tebakku asal. 

“Berisik. Nggak ada urusannya sama kamu.” Dia lantas menyuap dengan nikmat. Sialan. Tuh, kan. Rugi kalau berbaik-baik dengannya. Jawabannya selalu membuat hati dongkol. Kalau tidak ada mama dan papa diantara kami, sendok di tanganku pasti sudah melayang ke kepalanya. Dasar.

“Gimana tadi?” tanya mama padaku. 

“Apa?” Aku tahu yang dimaksud mama. Aku pura-pura tidak tahu saja. Aku malas membicarakannya. Apalagi disini ada Rakha. Bisa langsung ketahuan aksi penipuanku. Gawat, kan?

“Bukannya tadi kamu...”

“Oh, bakti sosial hari ini?” sambarku cepat yang spontan membuat mama melongo. Mama tidak boleh menyebut nama Jessica dan taman asoka di depan Rakha. Dan obrolan tentang apa yang aku lakukan hari ini untuk membantu Jessica tidak boleh diperpanjang.

“Bakti sosial?” Mama menatapku bingung.

Aku mengangguk cepat. “Iya, kan? Aku meringis menatap mama. Maksudku memohon supaya dia mengganti topik lain untuk dibicarakan. Tapi kelihatannya mama tidak memahami maksudku.

“Lho, katanya...”

“Ya, tadi panas banget, sih,” aku cepat memotong kata-kata mama. “Tapi menyenangkan, kok.”

“Kenapa nggak cerita kalau mau mengadakan acara bakti sosial?” Rakha menimpali. “Aku kan bisa ikut nyumbang dananya.”

Aku meringis. “Sori, aku lupa.”

“Tunggu, deh,” mama menyela. “Acara bakti sosial apa? Bukannya hari ini kamu bantuin Jess pemotretan di taman a...”

Aku terbatuk. Air yang kuminum spontan keluar lagi melalui hidung yang langsung membuatnya terasa panas. Sialan. Mama bikin kaget saja. Beruntung mama menghentikan kalimatnya setelah melihatku tersedak. 

“Kenapa, sih?” Mama mengernyit. “Hati-hati dong, Zie. Kayak anak kecil aja.” Bukannya memberi bantuan, mama malah mengomel.

Rakha mengulurkan tisu, tangannya menepuk punggungku pelan. Yeah, pertolongan pertama yang bagus. Apa ini juga termasuk bakti sosial? Aku bisa mempertimbangkan untuk mengucapkan terima kasih nanti.

“Udah mendingan?” tanyanya setelah melihatku berhenti batuk. Dia lantas mengulurkan segelas air. Aku tidak segera menerima, karena aku tahu gelas berisi air putih yang disodorkan padaku adalah gelas miliknya. “Ini masih utuh, kok. Belum aku minum tadi,” katanya melihat keenggananku menerima pemberiannya.

“Makasih.” Aku lantas menenggaknya sampai tandas. Beruntung mama tidak melanjutkan interogasinya mengenai kegiatanku bersama Jessica hari ini setelah adegan tersedakku selesai. Dan makan malam dilanjutkan dengan membahas masalah lain. Huh, aku selamat. Terima kasih Tuhan. Tidak elit kalau aksi kebohonganku terbongkar dalam kurun waktu kurang dari dua puluh empat jam.

*


Sendirian dalam kamar dan tidak melakukan apapun membuat jiwa isengku meronta-meronta untuk dikeluarkan. Aku jadi berpikir bagaimana kalau aku menghubungi Rakha dengan nomor ponsel yang lain. Tidak, aku tidak punya maksud apa-apa. Aku hanya ingin mengerjainya. Membayangkannya saja sudah menyenangkan. Apalagi misiku ini benar-benar terlaksana. Ya ampun, pasti akan banyak terjadi adegan yang mengesankan. Aku jadi ingin tertawa keras-keras. Hitung-hitung memberi pelajaran pada playboy itu. Siapa tahu setelah ini dia bisa jadi laki-laki monogami, kan?

Baiklah, untuk memuluskan rencana, artinya aku membutuhkan nomor ponsel baru sekarang. Jadi, aku harus membeli kartu perdana seluler. Tidak sulit. Di ujung gang kompleks ada yang menjualnya. Tidak jauh, hanya butuh waktu sekitar sepuluh menit dengan jalan kaki. Oke, langkah awal done. Sekarang saja aku sudah bisa mencium bau harum keberhasilan. Ya ampun, senangnya. 

Aku lantas menyambar jaket. Tapi sialnya aku malah bertemu Rakha di depan kamar. Seperti biasa dia menatapku dengan tatapan yang menurutku menyebalkan.

“Mau kemana?” tanyanya. 

Apaan, sih. Tidak usah sok perhatian. “Keluar sebentar.”

“Udah malam, Mbak. Kalau bisa ditunda besok aja.”

Aku melotot. Sejak kapan dia memanggilku sopan dengan embel-embel ‘mbak’ di depannya? Pasti ada yang salah dengan otaknya. Jangan-jangan kepalanya baru saja membentur benda keras. Terdengar manis, sih. Tapi sayangnya aku tidak suka.

Lihat selengkapnya