“Fix, elo beneran nggak waras, Zie.” Jessica menggeleng-gelengkan kepala setelah aku menjelaskan padanya tentang rencanaku mengerjai Rakha. “Yang sinting itu elo, bukan gue."
Aku mengedik. “Siapa tahu habis ini dia bisa tobat, Jess. Artinya tindakan gue yang lo bilang konyol ini bawa manfaat kebaikan buat dia.”
Jessica memutar bola matanya. “Astaga, Kenzie. Otak lo beneran melorot sampai dengkul. Apa gue kudu mukul kepala elo biar otak lo itu balik ke asal? Ya, ampun.
“Tapi, Jess...”
Jessica mendesah sebal. “Kalau mau lakukan sesuatu dipikirin dulu, Zie. Pikirin untung ruginya.”
“Gue emang nggak mikir panjang waktu mutusin, sih,” aku mengakui yang langsung dibalas pelototan Jessica. “Gue mikirnya sih bakalan seru aja ngerjain Rakha.”
“Otak lo beneran mulai nggak waras,” ujar Jessica gemas. “Seharusnya lo stop disana. Nggak usah pakai acara nelepon Rakha segala. Nggak nolak lagi waktu diajak ketemu. Astaga, Kenzie.”
“Gue udah nolak, Jess,” aku membela diri. “Tapi lo tahu kan gimana beracunnya lidah buaya. Lo kan punya banyak pengalaman disitu.”
Jessica menoyor kepalaku pelan. “Lo udah tahu kan gimana bahayanya buaya kalau udah menebar racun? Nah, elo malah masuk lubang buaya tanpa paksaan. Terus yang bego siapa, dong?”
Aku nyengir sambil menggaruk kepala. Jessica benar, aku jadi sedikit menyesal melakukannya. “Jadi gimana, dong?”
Jessica mengarahkan bola matanya ke atas. “Ya, nggak gimana-gimana Kenzie.”
“Maksud lo, biarin Rakha nungguin gue seharian gitu? Kan kasihan, Jess.”
Jessica menyipit. “Ngapain kasihan? Kalau kasihan seharusnya dari awal lo nggak usah ngerjain dia. Kan kasihan.” Jessica mengedik.
Aku mengerutkan bibir. Kalau dipikir-pikir Jessica ada benarnya juga, sih. Aku jadi bertanya-bertanya sendiri, dengan motif apa aku sampai melakukan hal ini. Kalau hanya karena sebal, tidak harus sampai begini, kan? Aku bisa membalasnya tanpa harus berpura-pura jadi orang lain. Rasanya seperti aku menggali lubang untuk aku masuki sendiri. Astaga, kenapa aku baru sadar sekarang? Seharusnya aku meminta pendapat Jessica dulu sebelum memulainya. Kalau sudah terlanjur begini, aku sendiri yang repot.
“Sebenarnya lo punya dendam apa sih sama adik tiri lo itu?” Jessica menyilangkan kakinya di sofa.
“Nggak ada dendam sih, Jess,” aku mengedik. “Gue cuma sebal aja karena sejak SMA gue jadi pelampiasan dari cewek-cewek yang dia putusin.”
Jessica membelalak. “Astaga, Kenzie. Itu udah lama banget kali. Masih lo ingat-ingat aja.”
“Gimana gue nggak inget, Jess,” sambarku cepat. “Cewek-cewek itu langsung datangin gue setelah Rakha putusin mereka. Sakit hatinya sama Rakha, ngomel-ngomelnya ke gue. Nyebelin, kan? Gara-gara dia gue nggak bisa punya pacar pas SMA. Gue nggak bisa merasakan manisnya pacaran zaman putih abu-abu.”
Jessica meletakkan telunjuknya di dagu. “Adik tiri lo dari dulu emang parah, sih.”
“Nah, itu lo tahu sendiri, kan?” Aku memutar bola mata.
“Memang ada jaminan setelah misi lo ini berhasil, adik tiri lo bakalan tobat?” Jessica mengangkat alis.
Aku mengedik. “Setidaknya dia ngerasain gimana nggak enaknya patah hati.”
Jessica membuang napas. “Baiklah, gue bantu lo dandan kayak kemarin. Tapi dengan syarat lo stop kalau Rakha udah mulai main hati. Gue nggak mau lo repot sendiri. Ntar ujung-ujungnya gue juga yang lo repotin. Nangis-nangisnya ke gue.”
“Lo emang yang terbaik, Jess.” Aku merentangkan tangan hendak memeluknya.
Jessica menepis tanganku. “Nggak usah lebay. Ingat, Zie. Ini nggak lama. Lo nggak boleh keterusan.”
Senyumku spontan melebar.
***
Aku sengaja datang sepuluh menit lebih awal. Tentunya setelah Jessica menggunakan the power of make up-nya untuk mengubah penampilanku layaknya gadis remaja. Aku juga sengaja membeli baju sesuai tren anak muda jaman sekarang. Sialan, untuk menyempurnakan kebohonganku, aku harus berbelanja hal-hal yang tidak perlu. Kalau tahu begini jadinya, aku akan berpikir dua kali lagi untuk mengerjai Rakha. Beginilah akhirnya kalau memutuskan sesuatu secara impulsif.
Aku menempati meja di sudut kafe yang mengarah langsung pada pintu masuk. Dengan posisiku sekarang aku bisa dengan mudah melihat pengunjung yang keluar masuk dari pintu kafe.
Rakha datang sepuluh menit kemudian. Dia memilih meja di dekat jendela besar dan duduk membelakangiku. Kami hanya berjarak dua meja. Dia terlihat sibuk dengan ponselnya sambil sesekali mengawasi pintu masuk kafe. Aku tahu sekali siapa yang dia tunggu.
Lima belas menit berlalu dari waktu yang kami sepakati. Aku belum berniat muncul di hadapannya sekarang. Biar saja dia menunggu. Nanti setelah dia bosan baru aku muncul di depannya. Ide bagus, kan? Itu saja tidak sepadan kalau ditukar dengan sikap menyebalkannya selama ini.
Menit ke dua puluh, datang perempuan cantik menghampiri mejanya. Tanpa sungkan pada pengunjung lain, perempuan itu langsung merangkul Rakha dan mencium pipinya. Astaga, dia benar-benar buaya. Dia kan sedang janjian denganku, tapi dia juga beradegan mesra dengan perempuan lain.
“Jangan gini dong, Sil.” Dari mejaku percakapan mereka terdengar jelas. Rakha melepaskan tangan perempuan itu dari pundaknya dan menatapnya risih. Halah, aku yakin itu cuma akting. Dia takut kepergok kalau aku tiba-tiba datang. Maksudku Jessi tiba-tiba datang.