Sejak pertemuan kami di kafe waktu itu dan Rakha memberiku ponsel baru, maksudku Rakha memberi Jessie ponsel baru, dia sering mengirimiku pesan singkat. Isinya sekedar hal remeh, sih. Yang paling sering dia tanyakan adalah tentang sekolah dan persiapan ujian kelulusan. Ya, Rakha seperhatian itu, sih. Pantas saja banyak perempuan yang tidak bisa menangkal rayuannya. Padahal aku yakin perempuan-perempuan yang didekati Rakha tahu reputasi laki-laki itu. Selain juga karena wajah yang good looking, isi dompetnya juga menarik. Karena dia menduduki posisi penting di perusahaan papa dan sedang disiapkan untuk menggantikan papa kalau papa sudah memutuskan pensiun nanti.
Sedangkan aku menolak bekerja di kantor papa. Aku lebih memilih kesana kemari mencari lowongan pekerjaan setelah lulus kuliah. Sulit memang, apalagi jaman sekarang banyak sekali persaingan untuk mendapatkan pekerjaan. Beruntung Arimbi, temanku sejak SMA, memberitahu kalau di kantor teman kakaknya sedang membutuhkan karyawan baru. Dan ternyata atasanku di kantor adalah seniorku di universitas yang memiliki sifat sebelas dua belas dengan Rakha. Bukan sikap menyebalkannya yang sama, tapi sifatnya yang sering gonta-ganti perempuan semudah mengganti celana dalam mereka. Selepas dari itu, Bos Fendi atasan yang baik.
Sedangkan alasan utamanya adalah aku tidak mau dekat-dekat Rakha. Cukup kami bertemu selama di rumah. Tidak perlu mempunyai urusan lagi di luar rumah. Aku tidak bisa membayangkan kalau aku menerima saran papa bareng Rakha bekerja di kantornya, aku akan jadi tua sebelum waktunya. Kulitku akan lebih cepat keriput ditambah dengan lipatan-lipatan pada area wajah yang pasti akan membuatku terlihat sepuluh tahun lebih tua dari usiaku yang sebenarnya. Oke, mungkin itu berlebihan. Tapi bisa terjadi karena aku merasa tertekan dan menahan jengkel setiap saat. Ya, hubungan kami memang seburuk itu. Padahal kalau saja dia bisa bersikap tidak menyebalkan setiap saat, dia bisa menjadi adik yang manis.
Aku meletakkan kapas di meja setelah mendengar ponselku berbunyi. Bukan ponsel Kenzie, tapi milik Jessie. Tanpa melihat pun aku sudah tahu siapa yang mengirim pesan. Di ponsel itu hanya ada satu nomor saja, nomor ponsel Rakha.
Mau apa sih dia? Pasti tidak jauh-jauh menanyakan kapan aku selesai ujian dan mengajak bertemu. Membosankan. Sejak bertemu di kafe itu, aku selalu menolak kalau dia mengajak bertemu dengan alasan persiapan ujian dan sebagainya. Beruntung Rakha bukan tipe laki-laki pemaksa. Jadi dia iya-iya saja waktu aku bilang ingin konsentrasi menghadapi ujian kelulusan lebih dulu. Aku tidak mengada-ada, kok. Menurut informasi yang aku dapat dari teman kerjaku yang kebetulan memiliki saudara yang masih SMA, kelas dua belas sedang persiapan ujian kelulusan. Kebetulan sekali, kan?
Sebenarnya itu bukan alasan yang utama, sih. Waktunya saja yang bertepatan. Jessica sebagai make up artist-ku saat bertransformasi menjadi Jessie sedang keluar kota. Dia mendapat tugas meliput acara sail internasional yang diadakan di Wakatobi, Sulawesi Tenggara selama dua minggu. Sebelum berangkat dia menawariku untuk ikut sekalian liburan, tapi langsung kutolak. Tidak mungkin aku mengajukan cuti dadakan saat pekerjaan kantor sedang banyak-banyaknya. Bisa-bisa Bos Fendi langsung memberiku surat pemecatan tanpa pikir panjang lagi. Yang mengerikan adalah dipecat tanpa pesangon.
Tanpa polesan tangan Jessica aku tidak mungkin menyetujui ajakan Rakha untuk bertemu. Ya kali, aku datang ke tempat janjian dengan dandanan seperti ini. Aku bukan tipe perempuan yang memiliki tangan luwes menyapukan peralatan make up ke wajah. Keseharianku hanya cukup dengan memoles bedak, sedikit eye shadow warna natural, sedikit blush on supaya wajahku tidak tampak pucat, dan memakai lipstik tipis. Untuk alis, orang salon bilang bentuk alisku sudah bagus, jadi tidak perlu menambah banyak coretan disana. Cukup sedikit dirapikan saja.
Udah kelar ujian? Bisa ketemuan hari ini?
Aku memutar bola mata setelah membaca pesan whatsapp dari Rakha. Tentu aku menolak. Semalam Jessica baru pulang dari Wakatobi, aku tidak mungkin langsung menyuruhnya mendandaniku ala-ala remaja SMA. Bisa-bisa dia memecatku sebagai sahabatnya tanpa banyak berpikir lagi. Rugi dong, apalagi misiku baru menginjak babak awal. Bisa gagal total dan aku rugi waktu dan tenaga. Bukan itu masalah utamanya, sih. Sulit mencari teman sebaik Jessica di jaman seperti sekarang ini. Rata-rata mereka saling memanfaatkan dan kabur tanpa jejak kalau sudah tidak membutuhkan lagi.
Teman akrabku bukan hanya Jessica. Aku juga berteman baik dengan Arimbi, cucu dari taipan bisnis terbesar nomor dua di tanah air. Kami bertiga sering menghabiskan waktu bersama jika waktu lowong kami kebetulan bersamaan. Tapi pertemuanku dengan Arimbi tidak sesering aku bersama Jessica. Aku tidak terlalu paham bagaimana keseharian para konglomerat, tapi kami tahu kalau Arimbi sulit mencari waktu lowong untuk sekedar menikmati secangkir kopi dengan kami. Dia memang tidak ikut terjun mengelola bisnis keluarga yang sekarang di pegang oleh saudara laki-lakinya, tapi Arimbi mengikuti jejak ibunya aktif dalam berbagi acara amal. Selain itu dia juga mengelola sebuah kafe.
Setelah terjun ke kehidupan masyarakat dan mengenal berbagai tipe orang, aku baru tahu kenapa Arimbi dulu sangat selektif dalam memilih teman. Banyak uang membuatnya secara otomatis membuat perlindungan diri dari orang-orang yang bermaksud memanfaatkan nama besar keluarganya.
Back to Rakha. Tanpa pikir panjang aku membalas pesannya.
Belum bisa. Ujian baru kelar seminggu lagi.
Aku tidak tahu dia akan percaya atau tidak, dia kan tidak tahu siklus belajar anak SMA seperti apa. Seperti aku yang hanya mendapat sedikit informasi dari rekan kerja yang kebetulan memiliki adik atau saudara yang masih duduk di bangku SMA. Intinya, kami sama-sama tidak tahu. Menggelikan, bukan?
Artinya minggu depan bisa, dong?
Balasan dari Rakha masuk tidak lama kemudian. Astaga, apa dia tidak punya kesibukan lain? Berkencan dengan perempuan yang dekat dengannya mungkin. Pacarnya kan banyak, jadi tidak mungkin dia akan kehabisan stok seandainya satu atau dua dari mereka menolak kencan. Huh, bikin ribet saja!
Ntar kalau udah kelar, aku hubungi.
Oke. Bye Jessie.
Aku tidak membalas lagi. Ini sudah mepet dengan jam janjianku dengan Jessica. Aku pasti kena omel kalau aku sampai telat lebih dari lima menit. Jessica tidak mau mentolerir keterlambatan meski dengan alasan apapun. Kali ini kami janjian di kafe Arimbi. Kebetulan perempuan cantik itu sedang ada di kafe dan akan mentraktir kami menu terbaru di kafenya.
“Mau kemana?”