Jessica tidak sendiri saat aku tiba. Dia ditemani Arimbi duduk di sofa nyaman dekat jendela besar yang menghadap taman di samping kafe. Di depan mereka ada dua cangkir kopi dan sepiring kue. Seperti biasa, kafe Arimbi selalu ramai. Tidak peduli itu weekday ataupun weekend.
Arimbi membuka usaha kuliner bukan karena dia seorang chef. Setahuku dia tidak pernah mengambil sekolah yang berkaitan dengan kuliner. Dia kuliah di jurusan ilmu komunikasi. Awalnya aku berpikir dia akan jadi humas di perusahaan dan ikut andil membesarkan perusahaan keluarga yang memang sudah besar itu. Ternyata aku salah besar.
Jadi apa hubungannya kuliah jurusan ilmu komunikasi dengan restoran? Tidak ada. Dia hanya penyuka makanan enak dan suka menghabiskan waktu bersama teman-temannya berkumpul di restoran atau kafe yang menurutnya cozy. Dan suatu hari, entah habis bermimpi atau apa, dia bilang kalau dia ingin mencoba peruntungannya di dunia kuliner. Dengan dukungan modal dari orang tuanya, dia memulai bisnisnya.
Arimbi tidak main-main dengan bisnisnya. Setelah mendapatkan tempat yang strategis, dia kemudian mencari arsitek yang sama gilanya dengan dirinya untuk mewujudkan ide-ide dalam kepalanya. Dan hasilnya sungguh luar biasa. Tidak butuh waktu lama, usahanya berkembang pesat dan segera menjadi tempat makan yang paling ramai pengunjung karena konsep kafe-resto yang ditawarkannya tidak biasa.
Restoran Arimbi terdiri dari tiga lantai. Lantai dasar adalah kafe yang nyaman yang menyediakan berbagai minuman dan kue-kue. Sedangkan lantai dua dan tiga adalah restoran. Aku jarang mengunjungi restoran Arimbi di lantai dua dan tiga. Makanya aku sering menyebutnya dengan ‘kafe Arimbi’.
“Tumben nggak telat,” Jessica menyapa lebih dulu. Dia lantas melirik pergelangan tangannya. “Wow, lima menit lebih awal. Ini rekor baru, Zie.”
Kata-kata Jessica disambut tawa Arimbi. “Bukan Kenzie kalau nggak ngaret, kan?”
Aku berdecak, kemudian menempati sofa nyaman di depan mereka. “Tadi diantar Rakha.”
Jessica dan Arimbi saling pandang sambil melebarkan mata. Dua orang ini sangat tahu bagaimana buruknya hubunganku dengan adik tiriku itu, jadi tidak heran kalau mereka terlihat kaget.
“Tumben banget,” Arimbi mengerutkan bibir. “Kalian udah baikan, ya?”
Aku mengarahkan bola mata ke atas. “Rakha sekalian jalan. Katanya ada janji di dekat-dekat sini.” Aku mengedik. “Gue lapar, nih. Sepotong kue nggak bakalan bikin gue kenyang, deh.” Aku menunjuk piring kue di meja.
“Mau pasta atau steik?” Arimbi menawarkan pilihan.
“Steik aja. Well done.”
“Gue nggak, deh,” tolak Jessica. “Perut gue nggak muat kalau untuk tiga jenis makanan sekaligus.” Jessica memang membatasi asupan kalori yang masuk ke tubuhnya untuk menjaga berat badannya supaya tetap ideal. Dia adalah tipe yang berat badannya mudah naik, tapi susah untuk diturunkan. Beda denganku yang memang memiliki perawakan kecil. Sebanyak apapun makanan yang masuk ke perutku, tidak membuat berat badanku akan naik secara signifikan. Ya, aku seperti memelihara naga di dalam perut yang langsung mengambil alih asupan nutrisi begitu masuk ke lambungku.
“Mau makan disini atau di atas?” tanya Arimbi lagi.
Aku memandang sekeliling ruangan. Belum duduk lima menit saja pengunjungnya sudah seramai ini. Tapi sofa yang aku duduki terlanjur nyaman untuk ditinggalkan. “Disini aja, deh,” putusku disambut anggukan Jessica.
Arimbi lalu memanggil pelayan dan menyebutkan pesananku. Kami mengobrol sambil menunggu pesananku datang. Terkadang tawa keras kami mengundang perhatian pengunjung lainnya. Setelah makananku datang, Arimbi menyarankan agar kami pindah ke meja yang lebih tinggi supaya bisa makan lebih nyaman. Dia lantas berpamitan karena ada sesuatu yang harus dia kerjakan.
“Menu baru kafe buat kalian sedang disiapkan. Kali ini gue yang traktir. Enjoy, ya,” katanya sebelum pergi. Kami berdua paham dengan kesibukannya.
Aku mengiris steik yang matang sempurna itu dan menyuapnya pelan-pelan. Sangat nikmat. Arimbi memang tidak sembarangan mencari orang untuk mengolah dapur restorannya. Tidak butuh waktu lama untuk memindahkan sepotong besar daging, kentang dan sayuran dari piring ke dalam perutku.
“Jadi, ada cerita apa selama gue ke Wakatobi?” Jessica sengaja menungguku sampai selesai makan.
Aku mendorong piringku menjauh lantas mengedik. “Nggak ada. Dia terus ngajakin ketemuan, sih. Tapi terus gue tolak.”
Jessica tergelak. “Gue percaya, sih. Tanpa bantuan gue, sosok Jessie nggak bakal tercipta.” Jessica memiringkan kepalanya. “Gue heran lo nggak kehabisan alasan selama dua minggu penuh.”
Aku mengarahkan bola mata ke atas. “Dia bisa apa kalau gue bilang sedang ujian. Itu adalah harga mati yang udah nggak bisa ditawar lagi.”
Jessica tertawa lagi. “Gue bisa bayangin kok tampang songong lo waktu cari-cari alasan. Yang gue heran kenapa adik lo mudah banget percaya.”
“Jadi yang bego siapa, dong?” Aku tertawa, kemudian mengalihkan pembicaraan. “Gimana Wakatobi?”
“Menakjubkan,” Jessica tersenyum lebar. “Gue nyesel, sih, lo menolak ikut. Padahal gue punya rencana menambah beberapa hari buat liburan.”
“Gue nggak mau kena semprot bos Fendi kalau tiba-tiba ajuin cuti. Gue masih sayang pekerjaan gue.”
“Lo kenal Fendi sejak jaman kuliah. Seharusnya lo tahu gimana caranya bikin dia acc permintaan cuti elo tanpa banyak pertimbangan.”
“Dia nggak tertarik sama apel fuji,” sahutku. “Dia tipe cowok penggemar melon. Meskipun lo gencar nyodorin apel fuji ke dia, nggak bakalan dilirik. Lagian dia nggak termasuk dalam list gue kalau gue kepikiran buat lepas segel.” Aku paham kemana arah pembicaraan Jessica. Pasti tidak jauh dari urusan buka-tutup reslesting yang dilanjut dengan adegan mendesah-desah. Sialan. Aku tidak seputus asa itu menukar kesenangan liburan dengan desahan satu malam.