Langit Merbabu

Bentang Pustaka
Chapter #2

Langit Merbabu #1

Langit Merbabu

Melampaui gunung

Semegah itulah cintanya,

juga penyesalannya..

Kangen adalah perasaan tersakral dalam kesepian, seni terindah dalam kesendirian.

Di ketinggian 3.142 mdpl ini pandanganku menjangkau jutaan hektare daratan hijau di bawah sana, tak terlukiskan keanggunannya. Awan tipis berarak perlahan di sisi kiri, menghampiriku, menjemput jiwaku untuk bertengger di permukaannya. Sang Gagah, Merapi, yang berdiri angkuh di hadapanku terlihat menyemburkan asap tebal sisa-sisa erupsi tempo lalu. Tampak begitu dekat, tetapi jauh. Aku dan keindahannya bagai dua jiwa yang tengah bergumul hebat menjadi satu. Getaran di dadaku mengalirkan kehangatan, membunuh kerinduan pada lelakiku yang kutinggalkan sendirian di bawah sana. Di Jakarta.

Sejenak aku mengenyahkan penyesalanku.

Sejak remaja aku memang menggilai alam, terutama gunung. Sangat. Sebagian besar puncak-puncak gunung di negeri ini sudah mengecap jejak kakiku tanpa hambatan berarti. Kali ini Merbabu dan sudah kali keempat aku menyambangi tanah yang memiliki panorama bak replika nirwana ini.

Ada sebuah kutipan yang pernah kubaca. “Suatu bangsa tidak akan pernah kekurangan pemimpin apabila generasi mudanya gemar mendaki gunung.”

Dan, aku setuju. Menapaki gunung sama halnya seperti kamu menapaki diri sendiri. Bukan untuk menaklukkan ketinggian, melainkan menaklukkan diri sendiri. Bukan untuk memimpin orang lain, melainkan memimpin diri sendiri. Perjuangan yang akan membuatmu tak sanggup menyangkal sesuatu yang sakral; seseorang yang mencapai puncak gunung menjadi saksi akan keindahan semesta. Ia tidak bisa tidak berpikir akan kebesaran Tuhan.

Jika kamu bertanya kenapa aku begitu suka naik gunung? Aku rasa sulit mengurai jawaban itu ke dalam bentuk kata atau suara. Di gunung hanya terdapat sesuatu yang bisa dirasa, bukan dijelaskan kata. Kakimu harus berpijak di sana untuk mengerti jawabannya.

Mataku menjelajahi samudra sabana. Panorama inilah yang menjadi alasanku untuk selalu kembali. Di sini aku bisa menemukan diriku sendiri lebih dalam, lebih dari yang sanggup dilakukan cermin. Menemukan lebih banyak senyuman dan sapaan, lebih dari yang bisa kutemukan di kota. Bahkan, dengan mendaki aku bisa melihat segalanya dengan jelas; segala sesuatu yang tak terlihat dari jarak dekat.

Lihat lebih jauh dan kau akan mengerti.

“Itu mah, lagunya Sherina, Nyol. Nggak ada kutipan lain, apa?” tukas Udin dengan ketus.

“Itu yang lagi cerita, kan, bukan gue, sompret! Lo protesnya ke doi, dong!”

“Yelaaa, ngeles aja kayak motor mau ditilang.”

“Bisa diem dulu, nggak, nyet? Baru juga mulai udah nimbrung aja. Please, sekali ini aja lo nggak perlu bikin rusuh .…”

“Sori, Nyol. Gue lagi kangen sama mendiang, nih.”

“Suri? Hahaha … ouw, you need a shoulder to cry on, ha? See if I care!”

“Artinya apa, Nyol?”

“Artinya: sono, buang hasrat aja lu di Kalijodo biar nggak galau.”

“Najis! Dasar kerak WC!”

“Raras!”

Jantungku terkesiap mendengar teriakan itu. Bagaimana tidak, suaranya tepat ditodongkan ke kupingku, memekakkan. Ditambah gebrakan di bahu, jelas tujuannya memang hendak mengagetkanku.

“Alik, resek lu!” Bibirku mengerucut memuntahkan kekesalan, tapi Alika tidak peduli. Ingin rasanya kusingkirkan senyum tengil itu dari wajahnya.

“Hahaha … lagian di puncak malah numpang bengong. Mentang-mentang udah biasa,” celoteh Alika.

“Bukan begitu, Lik. Gue kepikiran Langit.” Aku tidak suka berbasa-basi.

“Langit? Emang kenapa sama dia? Bukannya udah biasa juga lo tinggalin nanjak?”

“Iya, gue tahu. Tapi, kali ini rasanya lain. Gue nggak ngerti, tiba-tiba kepikiran aja. Dan, ini nggak biasa.” Kunaikkan ritsleting jaketku hingga mentok di bawah dagu. Kalimat yang kuucapkan menjemput hawa dingin yang tiba-tiba saja merajami pori-poriku.

“Udahlah, jangan biarin indra keenam lo itu pengaruhin pikiran lo, apalagi bikin lo mikir yang bukan-bukan. Lo tahu, kan, udah berkali-kali apa yang lo rasain itu selalu kejadian? Dia cowok lo, Ras. Lo nggak mau terjadi apa-apa sama dia. Jadi, setop, oke?” Tatapan Alika menghujaniku dengan tegas dan kubalas dengan anggukan yang dalam. Sugestinya baru saja menamparku.

Tentu saja dia benar, pikiran burukku harus disimpan dulu hingga entah kapan. Apalagi kali ini tentang Langit, pacarku. Bila perlu, akan kubuang jauh-jauh dan tidak kubiarkan menguasaiku.

“By the way, happy birthday, ya, Raras, Sayang. Elo emang keren. Bisa nikmatin hari kelahiran lo di tempat tertinggi,” sahut Alika sembari mendekapku. Dekapan tertinggi di puncak Kentheng Songo.

Aku cuma membalasnya dengan senyuman dingin. Diam, tetapi tak tenang. Ada sesuatu yang sedang kulawan dari dalam, mengakibatkan seluruh panorama sejauh mata memandang mendadak menjelma paras Langit. Kian kulawan, kian kecemasan itu merempuh. Aku kalah. Antisipasi itu lebih melelahkan ketimbang mendaki tanah terjal sejauh ribuan kaki.

Langit di atas kepalaku terlukis cerah dalam bias biru, sedangkan lukisan Langit di dalam jiwaku tersapu mendung dalam firasat kelabu.

Aku kedinginan dan gagu.

“Raras, minggu depan itu tanggal ulang tahun kamu. Aku mau kita ngerayainnya berdua, spesial. Emangnya nggak bisa, ya, kamu tunda dulu nanjaknya?” Rengekan Langit adalah hal yang tidak setiap hari kulihat. Menggelikan rasanya, tetapi juga membuatku kesal pada saat yang sama.

“Langit, sejak kapan, sih, kamu menahan-nahan aku pergi menggunung? Lima tahun, lho, kita pacaran, belum pernah aku lihat kamu kayak gini.” Sinis, tatapanku menyudutkannya.

“Tapi, bukan saat hari kelahiran kamu, Sayang. Momen milad itu setahun sekali, sedangkan naik gunung bisa selusin kali dalam setahun. Setidaknya, kamu tundalah seminggu. Aku mau nemenin kamu saat kamu ngerayain ulang tahunmu nanti.”

“Ya, udah, kalau gitu kamu nemenin aku nanjak aja. Kita bisa jalan pelan-pelan. Aku lihat asma kamu udah jarang kambuh sekarang. Kita bisa ngerayain ultahku di puncak Merbabu,” kutawarkan sebuah solusi dengan nada sedikit menggampangkan.

Sungguh, sebenarnya aku berharap sekali bisa mendaki bareng Langit. Selalu membayangkan perjalanan itu kami lalui berdua, berbagi lelah dan cengkeraman tangan saat medan menerjal. Tapi, kondisi kesehatannya tidak pernah mendukung untuk itu. Langit memiliki penyakit asma sejak balita dan rentan kambuh jika napasnya tersengal-sengal sedikit saja.

“Raras, kamu tahu aku kepingin banget, lebih dari apa pun. Tapi, bukan aku yang aku khawatirin. Kamu. Aku paling nggak bisa merusak acara kamu gara-gara kondisiku menyusahkan kamu dan semua orang. Jangan sampai kejadian di Ranu Kumbolo itu terulang lagi. Aku tahu aku nggak bisa.” Sorot mata langit meredup dan aku jatuh iba. Sepertinya dia tidak berniat berhenti mempertahankan keinginannya.

Begitu juga aku.

Kubuang pandanganku menuju tanaman beluntas di seberang beranda. Percakapan ini harus disederhanakan tanpa harus mengubah apa pun.

“Langit .…” Aku meraih jemarinya. Dingin. Sorot dari sepasang bola mata kami berbenturan dengan halus, tapi terasa panas. “…. Gunung itu rumah keduaku. Setiap mengunjungi gunung mana pun, itu sama artinya aku pulang. Apa pun alasannya nggak ada yang berhak melarangku pulang. Termasuk kamu.” Entah perlu atau tidak aku mengatakan semua itu. Aku hanya mau perdebatan kecil ini diakhiri segera.

“Aku ngerti, Ras. Tapi, menunda kepulangan bukan hal yang buruk. Kamu bisa pulang kapan pun kamu mau, kecuali minggu depan. Aku mohon, ya, lakuin ini buat aku … buat hubungan kita.”

Kedua mataku menyipit hingga tampak segaris.

“Buat hubungan kita? Sejak kapan acara nanjakku jadi hambatan buat hubungan kita?” Suaraku mengencang tanpa kusadari.

“Bukan itu maksudku .…”

“Lalu, apa? Kamu mau menempatkan posisiku di antara kamu dan gunung, dan aku harus memilih mana yang lebih penting?” Kian tersulut dan aku menyadari itu.

“Raras, tenang, Sayang. Aku nggak berniat bikin kamu emosi, kesimpulan yang kamu bilang barusan adalah hal paling salah yang pernah kudengar.”

“Udah cukup. Pokoknya aku nggak bisa ngabulin permintaan kamu. Menunda kepulangan meski cuma seminggu, buat aku adalah kesalahan terbesar yang bakal aku lakuin. Hati aku udah di puncak sana, Lang, dan aku harus menyusulnya.”

“Nggak akan lari gunung dikejar, Raras. Mereka bakal tetap di sana, setia nungguin kamu. Sementara aku? Aku nggak setegar gunung .…”

“Oh, aku ngerti,” kupangkas ucapan Langit sesegera mungkin. Aku tidak tahan mendengar ancaman. “Gunung nggak akan lari meski nggak dikejar, sedangkan kamu bisa lari kapan aja kalau aku selalu mementingkan hobiku. Itu yang kepingin kamu bilang? Kamu salah, Langit. Aku lebih memilih untuk mengejar yang diam daripada yang berlari. Kamu bisa lari kapan aja kamu mau dan jangan berpikir aku bakal ngejar kamu!”

Entah siluman apa yang merasuki pikiranku hingga kalimat itu menggempur Langit dengan kesumat. Aku memang paling tak bisa menahan diri ketika membela tempat pulangku. Semua hal yang merintangiku seakan berubah jadi musuh dalam sekejap, tak terkecuali Langit.

Lelaki yang paling kucintai.

Sebesar gunung.

Dan, dia tak pernah tahu.

“Raras! Masalahmu apa, sih? Sejak kapan kamu jadi emosian gini? Aku nggak pernah minta macam-macam sama kamu. Cuma sekali ini aja. Tapi, lihat reaksimu. Kamu meracau ke mana-mana, bahkan memandangku seolah-olah aku nggak ada artinya buat kamu.

Memangnya harus, kamu meremehkan aku seperti itu?”

Aku terkesiap. Tapi, bukan karena menyesali ucapanku yang terlampau keras. Reaksinya menciptakan celah menganga untuk kujadikan tempat mengalirkan ganjalan di hati.

“Langit, kamu mau tahu sesuatu?” Kami berdiri berhadapan saat tatapanku memaksa lelaki itu membuka kuping dan juga hatinya lebar-lebar.

“Kamu dan gunung adalah dua hal yang sama buatku. Sama besarnya, sama pentingnya. Sama indahnya, sama megahnya. Dua hal yang sama-sama kucintai, tempat pulang dan bersandar. Tapi, ada satu persamaan penting yang justru menciptakan perbedaan tajam di antara kalian ....” Kuhela napas separuh sembari kutahan gemetar kecil di bibirku. “Kamu dan gunung selalu membuatku merasa kecil dan tenggelam saat aku berhadapan.”

Sepasang indra penglihatan Langit membulat. Mungkin otaknya telah beku, tertegun hingga tak bekerja oleh pengakuan ini.

“Apa maksud kamu?”

“Kamu.” Aku tahu ada genangan tipis mengambang di pematang mataku, meluap perlahan. “Kamu yang selalu meremehkan aku.

Mengecilkan aku. Aku nggak bisa lagi kamu tinggalin dengan alasan yang nggak pernah berubah. Pergi berminggu-minggu ke luar kota untuk dinas; nggak pernah mengabari aku, cuma sesekali membalas pesan dan teleponku. Aku nggak ngerti proyek macam apa yang kamu kerjakan sampai harus sesibuk itu. Sekarang, kamu meminta aku menunda acaraku untuk memenuhi kemauan kamu. Untuk apa?! Karena dua minggu ke depan kamu mau ninggalin aku lagi, kan? Bahkan, akhir-akhir ini kamu semakin sibuk, semakin diandalkan bos kamu itu untuk menangani proyek-proyeknya. Kadang aku putus asa, hubungan kita ini akan berakhir seperti apa …, dan aku lelah mengejar kamu yang terus berlari. Aku mau berhenti.”

Genangan di pematang mataku pecah, sedangkan kedua lengan Langit serta-merta menyambar tubuhku dengan cepat. Membelitku erat. Gelagat itu mudah kubaca. Meski hati ini tersayat-sayat, kuakui dekapannya obat. Aku mengizinkannya meredam gelombang di tubuhku.

“Sayang …, maafin aku. Kamu dan seluruh gunung yang kamu pijak tahu aku nggak pernah punya niat nyakitin hati kamu. Jangan pernah mempertanyakan hubungan kita. Kamu adalah perempuan yang paling kuinginkan melebihi apa pun. Aku siap bersaksi di puncak mana pun untuk membuktikannya.” Kalimat itu melesakkan angin sejuk ke dalam baraku. Membuatku nyaman. “Aku mau ikut nanjak sama kamu.”

Terkesiap aku dibuatnya.

Bersamaan dengan mengendurnya dekapan Langit, tawaku tergelak sekali sembari kuseka air di garis mataku. Aku murahan. Luka yang mengendap sejak lama sekonyong-konyong pulih hanya oleh satu dekapan dan kalimat mautnya. Sebagai putri gunung, sebenarnya aku tidak terbiasa dengan drama. Namun, rupanya ia perlu untuk diperankan sesekali. Menanam kerikil di hati itu tidak baik untuk kesehatan mental.

“Nggak, Lang. Jangan serius menganggap ucapanku. Aku nggak bakal biarin kamu mencelakai diri sendiri. Kamu nggak boleh ikut,” sahutku.

“Tapi, kamu harus kasih aku kesempatan. Kalau terjadi apa-apa, aku bisa turun lagi sementara kamu melanjutkan perjalanan. Kita bisa sewa beberapa orang guide buat nanganin aku.” Aku belum pernah melihat sorot matanya seterang itu. Aneh rasanya. Entah apa yang membuat dia begitu bersemangat. Jiwanya seperti tengah didekami Dewa Aphrodite, sang Penebar Cinta dari Yunani.

“Hahaha … nggak banget, deh. Itu bukan gayaku. Udahlah, kamu jangan maksain. Aku bisa, kok, nunda keberangkatanku. Nanti aku bilang sama anak-anak.” Binar matanya adalah embun yang menyelubungi kemarau di gersangnya ruang-ruang di tubuhku.

“Oh ... jangan, jangan. Ya, awalnya aku emang menginginkan itu. Tapi, aku berubah pikiran. Biar aku aja yang menunda keberangkatanku dan kita bisa rayain ultah kamu setelah kamu kembali dari gunung. Ya?” Melalui bulu matanya, Langit memandangiku. Senyumnya selalu menciptakan lesung mungil di pipi kanannya, terlalu manis untuk tidak membuatku meleleh seperti es krim di mulut.

“Kamu serius?”

Ia mengangguk tegas. Senyum itu dikulum seperti tengah menanti untuk dipecahkan bersamaku. “Nggak pernah seserius ini,” jawab Langit sembari kembali mengulum senyumnya.

“Nggak yakin, deh, kamu bisa menunda pekerjaan kamu yang maha-penting itu. Selama ini mana pernah berani kamu lewatin.” Kutaruh lengan kananku di pundak Langit. Rasanya seperti menyentuh puncak gunung.

“Jangan nyindir, deh.” Langit menjepit hidungku dengan jemarinya. “Selalu ada untuk pertama kali dalam hidup. Mungkin ini saatnya kita mulai meredam ego kita masing-masing, biar jelas hubungan kita akan berakhir seperti apa,” pungkasnya.

“Berakhir di … pelaminan?” sahutku sembari tergelak. Kali ini cukup kencang. Pipiku memerah lantaran keinginan terpendamku mencuat ke permukaan. Jarang sekali kuungkapkan, tapi Langit sudah lama tahu itu. Aku tidak merasa terganggu meski dia selalu menghindarinya. Aku percaya Langit memang belum siap. Kariernya sedang cemerlang sekarang dan aku harus puas menunggu hingga ia memutuskan segalanya. Aku akan menantinya setegar gunung, menjadikanku satu-satunya tempat ia pulang dan bersandar.

Suasana mendadak canggung. Senyum di bibir Langit terbunuh oleh celotehanku. Ia memandangiku dengan sorot panas, sedangkan aku membalasnya dengan sungkan. Tatapannya menelanjangiku, membuatku ingin melompat ke dalam genangan lumpur biar aku berlumuran tak terlihat.

Perasaan yang timbul saat ini begitu rumit. Hatiku seperti merasakan aliran cinta yang dalam darinya, tapi juga keinginan untuk meninggalkanku pada saat yang sama. Lagi-lagi aku merasa kecil dibuatnya.

“Maaf,” kataku.

Langit tak menanggapi. Masih geming menatapku.

Aku tak pernah tersesat di gunung.

Akan tetapi, sulit menemukan jalan keluar saat aku tersesat di kedalaman matanya.

Pos 3, Jalur Selo, Merbabu, 9.20 PM

“Kita istirahat dulu di sini, cah. Udah dua jam kita nggak berhenti jalan.”

Rama, salah seorang rekan pencinta alam asal Boyolali berseru meminta kami berhenti. Aksen Jawa-nya selalu terdengar lebih kental daripada adonan aspal. Alika yang kelihatannya kelelahan tidak terlihat ingin membuang kesempatan itu. Dengan tergopoh dicopotnya kancing keril, lalu dibantingnya perlahan ke tanah sembari merobohkan tubuhnya.

“Hhh … alhamdulillah akhirnya ngaso juga. Bikin kopi, dong, Ram. Gue kedinginan nih,” celotehnya. Dia dan keempat orang lainnya, termasuk aku, memang sehati. Tidak ada rasa sungkan untuk berbagi rasa dan mengumbar canda. Terlebih, Alika adalah seorang yang tomboi, sangat mudah baginya mengakrabi semua orang, bahkan siapa pun yang baru ia temui di jalan.

“Siap, Kanjeng Ratu. Mau kopi jahe atau cokelat panas?” tanya Rama.

“Lo bercanda, ya? Cokelat panas mana ada kopinya.”

“Ada, dong. Kamu minum aja sambil lihatin si Bedoy, tuh, pasti keluar rasa kopinya. Muka dia kan, pahit.”

Gunung ini seperti milik kami berlima. Gelak yang pecah tak dibatasi volume suara pada satuan desibel. Kami bisa menciptakan kebisingan kapan pun kami mau.

Rabu malam. Pada hari kerja gunung ini memang sepi. Sengaja aku memilih pertengahan pekan karena alasan itu. Aku suka mencari kesunyian di tempat-tempat tinggi, jadi tidak mungkin bisa kunikmati atmosfer alam yang murni jika masih kulihat keramaian; hampir tidak ada bedanya dengan suasana di dataran rendah.

“Gue mau buang air dulu, guys. Tungguin bentar, ya,” sahutku 15 menit kemudian.

“Mau gue anter, nggak, Ras?” tawar Alika. Aku rasa dia bermaksud balas budi karena tidak pernah sekali pun urusan toiletnya terlewat tanpa kudampingi.

“Nggak usah. Gue bisa sendiri, kok,” jawabku sembari merogoh tisu basah di keril-ku.

Setelah berjalan menanjak selama dua menit, aku berhenti di lokasi paling bersemak. Hamparan baby edelweiss terlihat cukup jelas disapu purnama. Dari atas sini aku bisa melihat ukuran bulan dua kali lebih besar dari biasanya, membentuk bola yang seakan-akan sanggup dijangkau tangan. Pendaran cahayanya mengingatkanku pada binar senyum Langit, juga lesung di pipinya. Ada keindahan serupa yang aku temukan di dua tempat yang kumiliki sekaligus. Apa lagi yang lebih indah melampaui dua arah yang kesemuanya adalah tempat menuju pulang? Langit dan Merbabu.

Setelah kulepas urusan pribadiku, aku berdiri untuk kembali ke rombongan. Untuk turun, aku hanya membutuhkan separuh waktu daripada naik. Cukup satu menit aku sudah sampai di dataran Pos 3.

Napasku sedikit tertahan ketika berhenti. Bergeming. Angin yang melancarkan serangan dari arah timur mulai membekukan tubuhku. Mendadak aku menggigil. Kedinginan. Kutemukan aura yang tidak biasa dari tempat transit para pendaki ini. Dan, satu hal yang pasti, Alika dan ketiga rekanku tidak berada di tempat semula.

Mulutku belum sanggup terbuka saking menusuknya temperatur yang terjun bebas di atas sini. Bahkan, sekadar menengok pun tak sanggup. Hanya korneaku yang sibuk bergerak ke segala arah pematang mataku, berusaha menemukan mereka.

“Aliiik! Rama!” suaraku terdengar begitu parau saat kuteriakkan kedua nama itu. Lambat laun cuaca ekstrem pun berbaur bersama kecemasan yang mulai menjalar di kepalaku. Aku tidak habis pikir dengan apa yang mereka perbuat. Jika ini sengaja dilakukan untuk memberiku kejutan, tentu tidak etis. Bermain-main dengan keselamatan di atas gunung bukanlah sesuatu yang dewasa, mereka tahu itu.

“Aliiik! Ini nggak lucu, ya! Gue udah bilang sama lo, jangan main-main kalau di gunung!” Aku yakin ini semua memang gagasan konyolnya. Bibirku gemetar saat kuperingatkan sahabatku itu. Kedinginan dan ketakutan adalah kombinasi sempurna untuk membuatmu kelimpungan.

Yang kucari masih belum kutemukan. Mereka tetap menghilang.

Kuberanikan diri untuk menggerakkan badan. Seperti anak itik yang ditinggalkan induknya, aku melangkah sempoyongan untuk menemukan mereka. Ada undakan tanah yang membentuk bukit kecil di depanku, aku tergesa-gesa memanjatinya. Dari ketinggian tiga meteran pandanganku bisa menjangkau tanah lapang lebih luas. Namun, kosong melompong. Tidak seorang pun kulihat di sana selain hamparan rumput kering dan … kabut tebal yang berarak mendekat.

Kerongkonganku tersekat.

“Kakaaak .…”

Tubuhku terjungkal ke belakang saat seseorang memanggilku dari jarak dekat. Suaranya terdengar lebih parau dari milikku dan seketika bulu di permukaan tubuhku meremang.

Seorang remaja laki-laki berkupluk merah maroon tiba-tiba muncul dari arah belakangku dalam kondisi hipotermik. Usianya sekitar 15 tahun. Tubuhnya menggigil hebat menahan hawa dingin, wajahnya terlihat pucat seperti kehilangan seluruh sel-sel darahnya. Jika dibiarkan, aku jamin dia tidak akan bertahan. Dan, hanya jika dia … makhluk sepertiku.

“Tolong, Kaaak …,” ratapnya masih dalam posisi yang sama.

Matanya menatap tajam ke arahku. Tampak kosong, tapi penuh dengan pengharapan dalam pertahanan payah.

“Astagaaa … Adek!” Kuhampiri anak laki-laki itu dengan kecemasan luar biasa. Gemuruh napasku berhamburan ketika menyadari bahwasanya dia memang manusia biasa yang butuh pertolongan. “Kamu sama siapa di sini? Mana yang lain?! Apa yang terjadi, ha?!” pertanyaanku memberondong seperti proyektil yang dimuntahkan senapan mesin.

Anak laki-laki itu tidak menjawab pertanyaanku dan aku memaklumi kondisinya. Dia hanya merentangkan tangannya ke arah belakang, gemetar, menunjuk pada satu lokasi.

“Ada berapa orang di sana?!” todongku. Merbabu tengah diserang badai dan kondisi ini bisa mematikan bagi siapa pun.

“Tolong … teman saya, Kak. Dia … jatuh … di bawah … sana.”

Dalam kondisi kehilangan panas tubuh, butuh kekuatan ekstra untuk sekadar mengucapkan sebaris kata meski hasilnya patah. Dan, itulah yang ingin disampaikan bocah itu.

“Jatuh?! Astaga! Kamu tunggu di sini, biar Kakak yang periksa teman kamu!” sahutku dengan perasaan kian berdebar. Kucopot jaketku dan kukenakan pada sang bocah. Kepanikan yang menyelubungiku mengalirkan hawa panas ke dalam tubuhku. Dalam kondisi darurat seperti ini cuaca ekstrem bisa kulupakan untuk sementara.

Aku bergegas melawan angin.

Dari atas sini memang bisa kulihat seseorang tengah teronggok tak berdaya di bawah sana. Cahaya purnama dan lampu badaiku cukup membantuku untuk menemukannya. Tebing ini tidak terlalu tinggi, hanya sekitar enam meter, tapi butuh upaya ekstra untuk menuruninya. Tidak sia-sia kuikuti kegiatan panjat tebing di kampusku dulu. Tekniknya bisa kuterapkan saat ini, untuk menyelamatkan sebuah jiwa.

Dengan hati-hati, tapi cekatan, aku berpacu melawan waktu. Kuturuni tebing ini setapak demi setapak, dengan mengandalkan beberapa batu dan akar sebagai penopang tangan dan pijakanku. Tidak terlalu banyak dan jaraknya sangat berjauhan. Untungnya tubuhku cukup lentur. Beberapa kali harus kuregangkan tanganku sepanjang mungkin untuk menjangkau akar di sampingku dan harus berhasil. Ceroboh sedikit saja, korban yang harus ditandu pastilah bertambah satu.

Ketinggian hanya tinggal 1,5 meter dan kuputuskan untuk melompat. Meski kakiku rasanya terkilir, kuanggap pendaratanku tak bermasalah. Aku hanya memikirkan keselamatan korban saat ini.

Kuhampiri segera tubuh yang masih tergeletak itu dan kuraba sebagian permukaannya untuk memastikan tidak ada cedera serius di sana.

“Adek! Adek?!” Kuguncang punggungnya perlahan, berharap dia masih sadar. Namun, tidak kudengar jawaban apa pun.

Langkah kedua adalah memastikan dia masih bernapas. Posisi tubuhnya telungkup dan aku harus membalikkannya segera. Kutarik lengan atasnya ke belakang dengan perlahan, kulihat dahinya merah mengeluarkan darah. Aku sedikit fobia melihat darah, tapi kulawan dengan keras. Terlambat menyelamatkan jiwa orang lain lebih menakutkan bagiku daripada fobia bodoh itu. Setidaknya, untuk saat ini saja.

Selintas kemudian aku bermaksud menyambar lampu badaiku yang tergeletak di samping, tapi niat itu kuurungkan. Mendadak buluku bergidik saat cahaya dari lampu itu mengarah pada sebuah benda yang tidak asing bagiku. Kupluk merah maroon.

Aku tertegun, berusaha melawan prasangkaku. Aku harus memastikan keanehan itu hanya oleh pikiran yang tidak terkendali. Apa anehnya dua orang memiliki topi yang sama? Kuraih lampu badaiku perlahan dengan napas berdebar, penuh waspada. Kuarahkan sorot lampu itu pada wajah korban, mataku terbeliak.

Kujatuhkan tubuh bocah itu, lalu merangkak mundur dengan cepat. Napasku menderu seperti habis menjumpai setan. Wajah sang bocah rupanya memang sama persis seperti anak laki-laki yang berkupluk merah maroon itu. Pertemuan di tempat tak terduga membuatku yakin sebuah wajah bakal terekam sempurna di ingatan.

Jasad di hadapanku dan bocah yang menyapaku di atas adalah dua orang yang sama!

Kupejamkan mataku rapat-rapat.

“Kaaak … tolong saya, Kaaak .…”

Aku tersentak. Dengan energi yang tersisa kuolah seluruhnya menjadi sebuah jeritan panjang yang menggema hingga ke langit.

Sosok bocah berkupluk merah maroon itu tiba-tiba sudah duduk di hadapanku dalam jarak hanya beberapa inci, tepat di depan wajahku. Napas bocah itu tersengal-sengal berat seperti tengah sekarat. Mulutnya memuntahkan darah pekat dan tempurung di dahinya terbelah memanjang dari puncak kepala hingga pelipis.

Jeritanku masih meraung histeris.

Aliran darahku statis.

“Raras, hei! Bangun!”

Guncangan keras di bahuku membelalakkan mata. Aku terpana. Raut Alika begitu waspada melihat reaksiku yang mungkin tampak berbahaya.

“Kamu mimpi buruk?”

Aku tidak menggubris pertanyaannya. Yang aku tahu mimpi itu begitu nyata, tapi aku tidak peduli. Aku cuma mau buru-buru sampai di Jakarta untuk menemui Langit-ku. Sampai sekarang masih kusimpan rasa bersalah itu untuknya. Aku menyesal sudah meninggalkannya.

Aku tahu mimpi itu adalah penglihatan. Entah besok atau lusa, mungkin ia bakal terjadi sungguhan: seorang bocah berkupluk merah maroon terperosok ke bawah tebing curam. Tewas dengan kepala pecah membentur batu. Tapi, apa dayaku? Bagaimana cara aku menemukan bocah itu untuk mendapatkan peringatanku? Bahkan, aku tidak tahu namanya. Meski mungkin mustahil, aku tetap berharap peristiwanya tidak terjadi malam ini karena setahuku tidak ada pendaki lain selain kami. Dan, lagi pula besok aku sudah tiba di Jakarta. Tidak ada yang bisa kuperbuat selain berharap yang terbaik. Semoga, kali ini saja, mimpi itu bukan refleksi dari kenyataan yang sungguhan bakal terjadi. Semoga.

Aku sudah lama memiliki kemampuan ganjil ini, seperti yang sudah diketahui Alika. Memang tidak sering menghantuiku, tapi sekalinya datang, selalu ia menjelma ke dalam kenyataan.

Aku bisa melihat kematian.

Tepatnya, mungkin roh manusia yang sudah pergi. Aku tahu ini tidak terlalu istimewa, tapi sering kali penglihatan itu memukulku setiap aku mengalaminya.

Bukan untuk mencegah malapetaka yang akan terjadi, melainkan sekadar mengetahui mereka sudah beralih dunia sebelum aku melihat jenazahnya. Mereka hanya mengunjungiku beberapa saat setelah mati, memanfaatkan ketidaktahuanku untuk berpamitan.

Enam tahun lalu untuk kali pertama aku mulai menyadari kemampuan unikku. Kala itu aku baru kembali dari rumah sakit sehabis menjenguk ibu. Beliau terkena strok yang membuat separuh tubuhnya tak bisa digerakkan. Waktu menunjuk angka 5.30 pagi saat itu, aku berniat untuk berangkat ke kampus sehabis mandi. Ada ujian semester dan aku memutuskan untuk tidak melewatkannya. Toh, di rumah sakit sudah ada ayah dan adik laki-lakiku, kami bergantian menunggui ibu.

Tidak ada penghuni di rumah, tapi aku mendengar suara sendok dan piring berdentingan saat aku memasuki pintu masuk. Hati-hati, aku pun menghampiri sumber kegaduhan itu.

“Ibu?!” Mulutku menganga dengan debaran jantung menderu.

Aku melihat ibu tengah sibuk sarapan di ruang makan. Tampak lahap sekali. Beliau langsung menatapku sembari menyunggingkan senyum, tapi juga tidak berhenti mengunyah makanan.

“Ibu … kok, bisa ada di sini? Siapa yang mengantar Ibu?” tanyaku dengan takjub. Kakiku gemetar dan aku tahu itu.

“Ibu lapar sekali, Nak. Dari seminggu lalu cuma dikasih makanan infusan.”

Pertanyaanku tidak dijawab, tapi suaranya terdengar normal, tidak tampak sakit sedikit pun. Tubuhnya sudah bisa digerakkan seperti tak pernah terjadi apa-apa.

Aku menghampiri Ibu dengan tergesa. Duduk di meja makan, tepat menghadap beliau. Persetan dengan kejanggalan itu, aku hanya tidak bisa menyembunyikan kegembiraanku untuk menyambut kesembuhannya. Alih-alih kejanggalan, aku lebih suka menyebutnya dengan keajaiban.

“Selamat pulang, Bu. Raras seneng banget Ibu bisa pulih.”

Kelegaan itu menggema di dadaku, semakin membuncah.

“Iya, Raras anak Ibu. Tapi, Ibu minta maaf, ya, nggak bisa jagain kamu dan adikmu lagi. Ibu … memang sudah pulang.” Tak ada beban dalam ucapan itu. Aku merasakan kedamaian pada sorotnya dengan pendaran aura yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Menyakitiku.

Kakiku mendadak dingin. Pada saat itu kami hanya berpandangan dalam gemuruh halus, tidak ada kata-kata yang sanggup kami utarakan. Tapi, firasat itu terbaca. Mata batinku seakan dibuka dan aku tahu tentang apa semua ini.

Ponselku bergetar.

Tidak ada nada dering yang berbunyi, tapi aku tahu ada pesan singkat yang menunggu untuk dibaca. Kubuka perlahan layarnya, tapi tidak kubiarkan pandanganku beralih pada sosok penuh cinta yang ada di hadapanku. Ponselku kuangkat hingga setinggi paras ibu, mataku menjaga keduanya agar tetap terlihat. Tak akan kubiarkan beliau lepas dari cengkeraman mataku.

Kedua bola mataku sedikit bergeser ke layar ponselku. Dan, samar-samar aku masih bisa melihat sosok Ibu masih menjelma di tempatnya.

Pesan singkat dari adikku:

Kak Raras, buruan ke rumah sakit. Ibu, Kak …, udah nggak ada.”

Ponselku jatuh dan pandanganku mendadak gelap.

Kepalaku membentur meja, tapi tidak hilang kesadaran. Ada kekuatan aneh yang menahanku untuk tak bergerak. Tubuhku lumpuh, tapi jiwaku memberontak. Aku ingin menghampiri beliau untuk memeluknya kali terakhir, tapi kekuatan itu menghalangiku.

Mulutku hanya bisa meneriakkan nama ibu berkali-kali, tapi tak bersuara.

Aku menangis histeris.

Aliran darahku statis.

Jika aku tahu lokasi keberadaan seseorang denganku tidak sama, tapi dia mendadak hadir di hadapanku, aku tahu apa yang terjadi. Tidak ada yang bisa kulakukan selain pasrah dan menerima.

Itulah kunci penglihatanku.

“Ayo, kita jalan lagi.”

Pukul 22.15 Rama kembali meminta kami melanjutkan perjalanan. Masih panjang. Masih harus menyusuri jalur menurun sekurangnya empat jam lagi dalam kondisi normal. Makin malam cuaca semakin menusuk. Meski tak seekstrem dalam mimpiku, tak bisa kumungkiri sapuan angin yang melancarkan serangan cukup membuatku kewalahan. Kondisi fisikku mendadak menurun seperti jalanan yang kulewati. Belum pernah seperti ini sebelumnya.

“Raras, kamu oke?” Bedoy menepuk bahuku pelan, aku sedikit terkejut.

Aku mengangguk, sedangkan dia membantu mengangkat keril besarku untuk disandarkan di punggung. Selain barang-barang pribadiku, aku membawa tenda dan rangkanya, dan itu memang cukup berat. Tidak perlu khawatir, aku sudah terbiasa dengan itu. Yang pasti, tidak seberat firasat buruk yang menggantung di kedalaman sini, di hatiku. Dan, untuk kali pertama beban itu kubawa ke gunung. Aku terkatung-katung.

“Mungkin nggak penting, tapi kita berhitung, ya. Buat memastikan jumlah kita nggak kurang,” cetus Rama dari posisi paling depan. “Satu!” pekiknya sembari terus melangkah.

“Dua!” Janur, rekan menggunung yang berbadan agak gempal menimpali.

“Tigaaa,” suara Alika menyusul dengan nada gemulai.

“Empat!” sambut Bedoy.

“Lima!” suaraku hampir selantang Bedoy. Aku harus tetap menjaga gairahku biar lupa segala sesuatu yang tengah meracaui pikiranku.

“Enaaam .…”

Seseorang sepertinya tertinggal di belakang dan seketika langkahku terhenti untuk menunggunya. Tubuhku otomatis berputar ke belakang, lalu menyorotkan lampu senterku.

Tak tampak siapa pun.

Jantungku mencelat menyadari sesuatu, membeliakkan mata sembari kembali memutar tubuhku ke depan. Mematung. Ada yang mengikuti dari belakang dan itu bukan salah seorang dari kami.

“Hei, tunggu!” seruku pada keempat rekanku, mereka serempak menghentikan langkahnya.

“Kenapa, Ras?” tanya Bedoy.

“Lo dengar ada orang nyahut, nggak? Neriakin angka enam?!” bisikku dengan raut tajam. Kucengkeram leher belakangku untuk meredam bulu yang berdiri di balik syalku.

Bedoy menggeleng. Otot-otot di parasnya mengendur cepat, menyiratkan sesuatu yang tidak ingin ia sangkal. Seakan-akan … hal itu biasa terjadi di gunung. Tapi, itu tidak biasa buatku.

“Udah, biarin aja. Nggak usah ditanggapi. Kita lanjut jalan aja. Inget satu hal, kelebihan lebih baik daripada kekurangan. Sini, biar gue yang jalan di belakang,” tawar Bedoy dengan yakin. Aku setuju dengan pendapatnya, tapi mengenai kelebihan “orang” aku rasa tidak berlaku untuk pepatah legendaris itu. Sial.

Omong-omong, aku pikir tawarannya untuk menempati posisiku memang solusi menjanjikan, tapi aku memilih tidak. Aku masih penasaran dengan apa yang kudengar. Setidaknya, ingin kupastikan kalau-kalau itu hanya ilusi. Atau, mungkinkah suara parau itu milik bocah berkupluk merah maroon? Dia masih hidup dan butuh bergabung dengan kami. Atau, berusaha memberitahuku lokasi kecelakaannya? Ah. Kenapa tidak kucek saja tadi lokasinya. Siapa tahu dia memang sudah terjerembap di sana dan ingin aku menemukannya.

Sekarang sudah terlambat. Perjalanan kami sudah terlalu jauh untuk kembali. Hanya satu hal yang bisa kujanjikan: jika kudengar orang hilang besok dan ciri-cirinya sama seperti bocah itu, kupastikan tim penyelamat akan mendapatkan lokasi keberadaannya dariku.

Tiga puluh menit berlalu dan tidak kurasakan lagi sesuatu yang aneh. Entah kenapa ini malah menggelitik rasa penasaranku. Ingin kupastikan sekali lagi suara itu benar-benar hilang atau memang masih mengikuti kami. Mengerikan rasanya membayangkan kekejaman yang kami perbuat jika ia adalah makhluk bernyawa yang sebetulnya membutuhkan bantuan.

“Ram, kita hitung lagi, yuk, kayak tadi,” cetusku dari belakang.

Entah mereka tahu atau tidak maksud dan tujuanku, aku tak peduli. Bahkan, aku juga tidak peduli jika percobaan kecil ini mungkin saja … berbahaya.

“Oke. Yuk, hitung. Satu!” jawab Rama tanpa kompromi.

“Dua!” lanjut Janur.

“Tiga, Ras,” sahut Alika.

“Empat!” seru Bedoy, masih selantang sebelumnya.

“Lima!” susulku.

Bersamaan dengan itu kutahan napasku dan kubiarkan kesunyian menyelubungi kami. Kusiapkan kedua kupingku untuk menangkap suara itu. Kubuka lebar-lebar seperti perangkap tikus yang siap menjebak mangsanya.

Tetap sunyi dan aku menghentikan langkahku. Sahutan orang keenam itu tak terdengar lagi, tapi mata batinku mendadak merasakan kehadirannya. Kengerian yang muncul di detik berikutnya menjalar cepat dari ujung kaki hingga kulit kepala. Rasanya seperti dijambak ketika suasana itu mengendalikanmu penuh. Bagai perangkap yang kamu siapkan, tapi menjebak dirimu sendiri.

Beberapa meter dari belakangku, kudengar suara napas berat dihela berkali-kali. Serak dan parau. Dari suara itu kubayangkan pemiliknya berukuran tubuh tinggi besar dan rasanya seperti hendak menerkamku jika saja ia lapar. Jantungku makin berdebar dan nyaliku belum cukup prima untuk melabuhkan pandangan. Apa gerangan yang dia inginkan. Untuk apa mengikuti kami sepanjang perjalanan. Siapa dia sebenarnya … pertanyaan-pertanyaan itu mungkinkah terjawab jika aku menantangnya?

Tidak, jika nyali ciutku dibiarkan menahan kami untuk berkomunikasi.

Ya. Nyaliku harus perkasa.

Tanpa pertimbangan lagi, secepat kilat kuputar tubuhku ke belakang, lalu kusorotkan lampu senterku ke arah pemilik napas itu.

Jantungku mencelus ke dasar tanah.

Sebentuk paras pucat dengan tatapan nyalang, terbentuk sempurna oleh sapuan cahaya senterku. Seluruh sel-sel di tubuhku terurai bak diterjang badai.

Selain mulut yang menganga menahan kalut marut, tak ada suara yang keluar dari bibirku. Gemetar. Lampu senterku sudah kupadamkan sejak bentuk paras itu terekam jelas di ingatan dan aku kehilangan diri sendiri.

Lihat selengkapnya