"Apakah kau percaya kepada Tuhan, Kolonel?" Presiden bertanya dengan suara yang tenang, wajah tegasnya tidak bisa menutupi lembut pancaran hatinya, ia duduk di kursi kerjanya dengan pakaian jas hitam dan dasi merah, lencana kehormatan menempel di kerah jas bagian kanannya, ia memandang prajurit penerbang yang duduk tegap di hadapannya, Komandan Tempur Angkatan Udara, Kolonel Aditiya Ibrahim.
Kolonel masih terdiam, sejak masa pelatihan dulu, ia sudah ditanamkan prinsip untuk menjawab setiap pertanyaan atasan dengan jawaban yang jelas dan lugas, dan Presiden adalah Panglima Tertinggi TNI. Hanya saja belum pernah ia mendapatkan pertanyaan langsung seperti ini, belum pernah ia berbincang langsung dengan Presiden di Ruang Kerja Utama Istana Negara, dua orang Pasukan Pengamanan Presiden berdiri siaga di depan pintu, segala suasana ini membuatnya sedikit canggung, bukan takut.
"Bapak Presiden..." Ia akhirnya membuka suara. "Saya bukanlah orang yang benar-benar religius, Namun sejak kecil saya telah diajarkan untuk memulai sesuatu dengan berdoa. Itulah yang saya lakukan setiap kali akan menerbangkan pesawat, dan hingga sekarang, ribuan jam terbang telah berhasil saya lalui, saya yakin itu semua karena penjagaan-Nya."
"Karena itulah kami memilihmu Kolonel.." Presiden tiba-tiba bangkit dari duduknya, ia berdiri, tubuhnya tidak terlalu tinggi tidak juga terlalu pendek, proposional, sebagian rambutnya telah memutih, janggut rapih di dagunya memberi kesan kharisma dan kebijaksanaan.
Presiden melangkah ke dekat jendela, menatap pemandangan luar halaman istana, yang penuh rumput hijau dan pohon-pohon rindang yang besar. "Aku sebenarnya sudah berusaha menghubungi beberapa negara untuk bergabung, namun belum satu pun yang memberikan respon. Beberapa pihak secara serius memperingatkanku, bahwa misi ini mungkin mustahil, mereka memberikan gambaran-gambaran suram yang bisa saja terjadi. Tapi aku lebih takut jika kita hanya terdiam, terdiam membiarkan kedzaliman.
"Kami memang terlatih untuk menyelesaikan misi-misi yang mustahil Bapak Presiden, segala persiapan yang seluruh tim upayakan selama tiga bulan lebih sudah mencapai level terbaik. Dan karena ini misi kemanusiaan, kita tidak datang untuk berperang, namun selalu siap untuk semua kemungkinan terburuk."
"Termasuk keluargamu Kolonel?" Presiden kembali ke tempat duduknya, memandang Kolonel dengan tatapan penuh empati. "Aku tahu, putramu baru berusia enam tahun, ia akan sangat merindukanmu.."
Kolonel tertunduk, istri dan putra satu-satunya sedang menunggunya di teras depan istana, mereka adalah belahan jiwanya, semangat dan kerinduannya, tentu saja ia tidak akan sanggup jika harus berpisah. Dan ia tahu betul seberapa besar resiko misi penerbangan ini, namun ada yang lebih utama dibandingkan kepentingan pribadi, ia sudah disumpah untuk itu sejak awal masuk pendidikan militer.
"Mereka akan bersama orang-orang terbaik Pak, yang akan menjaga dan melindungi mereka sampai aku kembali. Ini adalah tugas negara, dan aku tahu mereka menerimanya dengan ikhlas."
Presiden tersenyum bangga, kini tidak ada lagi kerguan di hatinya, ia telah memilih orang yang paling tepat. Mental baja prajurit di hadapannya dapat terlihat dari sorot mata yang penuh tenaga, tapi tidak jumawa.
"Kolonel, mentalmu tampak sudah sangat siap. Aku, Presiden Republik Indonesia, atas nama seluruh rakyat Indonesia, mengucapkan terima kasih dan rasa penghargaan untuk semua dedikasimu ini, kau adalah salah satu putra terbaik bangsa, semoga Allah selalu menjagamu, dan melindungi perjalananmu. Salamku untuk anak dan istrimu"