Sudah lima belas jam, Kolonel Aditiya melihat layar monitor di hadapannya, menunjukan peta digital wilayah perbatasan Jordania, Mesir, Suriah, Lebanon yang mengelilingi Israel. Mereka kini berada 40.000 kaki tepat di atas kota Al Karak, Jordania. Tidak lama lagi pesawat tempur mereka akan melintasi Laut Mati. Tidak ada cara lain untuk bisa mendarat di Gaza, selain menerobos wilayah udara Israel, yang tentu akan memancing aktifnya sistem pertahanan udara negara itu jika mengetahui keberadaan pesawat asing yang melintas.
Hanya tinggal 30 menit lagi dari wilayah udara perbatasan Jordania-Israel, Kolonel Aditiya menatap monitor radar Ibrish. Radar mutakhir ini mampu memantau 30 target udara dan sanggup mengunci 8 sasaran tembak sekaligus dengan misil udara aktif. Ia memastikan tidak ada pergerakan yang mencurigakan dari pesawat musuh dalam radius yang membahayakan. Kolonel Aditiya kemudian menoleh ke arah kanannya, memandang gelap langit yang membantang seluas ia bisa memandang, gelap dan sunyi, hanya deru mesin jet pesawatnya yang terdengar, dua pesawat tempur lainnya berada tepat di belakangnya, mengikuti dalam jarak aman.
Lima belas menit mendekati wilayah udara perbatasan Jordania-Israel. Kolonel menghubungi dua rekannya lewat radio. Mereka harus mulai menggunakan mode penerbangan siluman, agar saat masuk ke wilayah udara Israel, keberadaan mereka tidak terditeksi radar.
"Alfa dua, alfa tiga masuk.." Ujar Kolonel
"Diterima alfa dua, alfa satu masuk.."
"Diterima alfa tiga, alfa satu masuk.."
"Bersiap mode siluman, angel to fifty (naik ke ketinggian 50.000 kaki)"
"Diterima alfa dua, angel to fifty"
"Diterima alfa tiga, angel to fifty"
Kolonel menarik stick kendali pesawat dengan kuat, seluruh badan sukhoi SU-35 itu pun lengsung menukik tajam ke atas, melesat menembus gumpalan awan gelap, Kolonel menatap layar monitor radar Ibrish, mereka sudah masuk wilayah tutorial udara Israel, perasaan cemas mulai menguasai pikirannya, meski mereka termasuk pasukan elite yang sudah teruji dalam latihan mental yang berat, namun seorang pilot peswat tempur tetaplah manusia biasa yang memiliki insting untuk waspada pada suatu kejadian yang tidak diinginkan.
Tepat di ketinggian 50.000 kaki, Kolonel Aditiya membebaskan stick kendali ke posisi normal, pesawat Sukhoi itu pun kembali bergerak horizontal, begitu pun dengan dua pesawat sukhoi rekannya yang terus menjaga formasi terbang bersama.
"Alfa dua, alfa tiga masuk. aktifkan pengacau gelombang.." Kolonel kembali memberi intruksi lewat radio sambil menekan tombol berwarna hijau yang berada di dashboard pesawat.
"Diterima alfa dua, aktifkan pengacau gelombang."
"Diterima alfa tiga, aktifkan pengacau gelombang."
Sistem pengacau gelombang berfungsi untuk membuat radar pertahanan udara musuh menjadi buta, tidak mampu menditeksi pesawat lawan. Saat terjadi pertempuran udara perannya sangatlah vital. Meskipun begitu, rasa cemas tidak bisa hilang begitu saja, semua orang tahu, Israel selalu mendapat dukungan teknologi militer terbaru dan tercanggih dari Amerika, dan bukan tidak mungkin sistem pertahanan udara mereka sudah dilengkapi senjata penangkal serangan pengacau gelombang dari pesawat tempur.
Kolonel Aditiya menatap layar monitor yang menampilkan peta digital. Mereka kini melintasi kota Hebron yang berada di Tepi barat Israel, dan berjarak 60 kilometer dari wilayah perbatasan Gaza.
"Alfa satu masuk! Radar menangkap bogey (pesawat asing) mendekat."
Kolonel sedikit terkejut, ia segera menoleh ke sisi kanan dashboard pesawat, menatap monitor radar Ibrish, tampak titik-titik hijau muncul di layar radar, mereka berjarak 15 menit dari sisi utara, dan terus mendekat ke arah jalur penerbangan Kolonel Aditiya dan dua rekannya.
"Roger. Tetap tenang dan jaga formasi, kita menunggu mereka melakukan konfirmasi."
"Alfa dua, copy that."
"Alfa tiga, copy that."
Kolonel terus menatap layar radar di hadapannya. Titik-titik hijau semakin mendekat, ada lima pesawat yang tertangkap radar. Sistem pertahanan udara Israel sepertinya berhasil menangkap keberadaan tiga pesawat tempur asing di atas langit mereka, dan secara otomatis Israeli Air Force (IAF) langsung mengirim angkatan udara mereka untuk melakukan penghadangan.
Satu pesawat tempur Israel muncul, melesat ke arah Kolonel, lalu berputar mengambil posisi di samping kanan atas dari pesawat tempur Kolonel Aditiya.
Kolonel menoleh ke sisi kanan atasnya, sebuah pesawat tempur F-22 Raptor buatan Amerika Serikat dengan logo bendera Israel di sayap belakang menunjukan ancaman serius. Empat pesawat lainnya mengepung dari belakang.
"Bogey! This is Israeli Air Force! What is your mission?"
(Pesawat asing! Ini Angkatan Udara Israel! Apa misimu?)
"I'm Colonel Aditiya. We are Indonesian Air Force. We request permission to land on Gaza Airport."
(Saya Kolonel Aditiya. Kami adalah Angkatan Udara Indonesia. Kami meminta izin ke Bandara Gaza.)
"Negative! You don't have the permission! Turn back and follow us!"
(Negatif! Anda tidak mendapatkan izin! Putar balik dan ikuti kami!"
Genggaman tangan Kolonel pada stick kendali pesawat mulai menegang dan menguat.
"We bring food and medicine for dying poeple in Gaza. We need your permission!"
(Kami membawa bantuan makanan dan obat-obatan untuk warga Gaza yang sekarat. Kami butuh izin Anda!"