Langit Tak Pernah Bertanya

Dwi Kurnia 🐻‍❄️
Chapter #1

1| Dinosaurus

....

Gadis berusia delapan tahun itu duduk di ayunan tua yang menggantung dari pohon ketapang di halaman depan rumah. Kaki telanjang Aruna terkadang menyentuh pasir kering berwarna coklat. Aruna tidak benar-benar mengayun. Ia hanya duduk dengan kaki yang terkadang menggantung, tubuh sedikit membungkuk, rambut hitam ikalnya makin mengembang saat Ibu belum merapikan untuknya. Biasanya Ibu suka mengikat ponytail rambut panjang Aruna, lalu dihiasi jepit rambut atau pita warna-warni. Dalam pangkuan ada buku gambar yang sudah banyak goresan membentuk pola-pola abstrak dengan crayon berwarna biru tua yang masih dalam genggaman.

Aruna menatap lama gambar itu. Kadang ia menepuk-nepuk kedua pipinya pelan. Terkadang mengulang kata yang sama dengan tempo cepat lalu pelan, intonasinya datar, seperti sedang menahan sesuatu. Setiap Aruna bicara, kepalanya ikut bergerak. Kadang ke kanan, kadang ke kiri, kadang ke bawah.

"Biru-biru-biru-biru bagus.... bagus.... Aruna suka-biru-Aruna-suka..."

Suara pintu rumah berderit. Ratih muncul dari balik pintu. Ia tersenyum hangat mendapati anak bungsunya sudah duduk di ayunan. Kebiasaan Aruna setiap tidak ada di tempat tidur di pagi hari adalah pergi menuju ayunan walaupun hanya sekedar duduk.

"Aruna... sudah bangun?" Suara Ratih terdengar pelan, seperti takut menggangu pagi Aruna.

Aruna menoleh, matanya besar dan jernih.

"Ibu.... Ibu...." gumamnya pelan, lalu menunjuk buku gambarnya. "Bagus? Bagus?"

Ratih mencondongkan tubuh dan menopang beban tubuhnya dilutut. Meski hanya gambar pola tak berbentuk, Ratih tersenyum. "Iya. Gambar Aruna bagus."

Aruna tersenyum hingga terlihat gigi-giginya yang putih bersih dan rapi. Namun, wajahnya kembali datar saat Aruna teringat sesuatu. "Pergi? Ibu pergi? Urusan... Ibu?"

"Iya. Nanti Ibu ada urusan. Tapi, Ibu pergi tidak lama, kok. Aruna nanti dirumah sendiri dulu, ya?"

Aruna mengangguk, meski jelas ia seperti tidak mau. Karena kalau Ibu pergi, rumah jadi sunyi. Dan Aruna tidak suka sunyi. Apalagi sendirian.

"Ikut... Aruna ikut Ibu... Urusan..."

Ratih mengelus pelan rambut ikal warisan sang suami. Ia mengecup lama kening Aruna. "Nanti Ibu bawakan Aruna mochi rasa matcha. Aruna jaga rumah dulu tidak apa-apa, ya? Rumah ini akan jaga Aruna. Kamu aman disini. Boleh?"

Aruna mengangguk. Tapi kali ini ada senyum cerah di akhir.

"Ada yang Aruna mau tidak? Nanti biar Ibu bawakan sekalian," kata Ratih.

Aruna mengetuk-ngetuk kepalanya dengan ujung telapak tangannya beberapa kali agak keras. Hal yang selalu Aruna lakukan ketika ia sedang berpikir. "Dinosaurus... Aruna-mau-dinosaurus...."

Ratih tertawa pelan. "Boleh. Nanti Ibu bawakan buat Aruna."



....

Ratih benar-benar pergi setelah membuatkannya sarapan nasi goreng sayur dengan telur mata sapi. Aruna hanya duduk lesu di sofa dekat jendela. Menopang dagunya menatap keluar jendela. Ia bosan. Ia sudah menonton tayangan televisi dan memindah-mindah channel sampai bosan. Ia juga sudah bermain dengan boneka berbentuk bulan yang lusuh hingga kini cuma menjuntai disalah satu tangannya.

Setelah beberapa menit, Aruna bangkit dan berjalan ke arah dapur. Ia ingin membuat susu matcha untuk dirinya sendiri. Ia mengambil air untuk ia didihkan diatas kompor. Mengambil susu matcha sachet lalu menuangkannya di cangkir. Meski ia sudah melakukan sebaik mungkin, susu bubuk itu tetap saja tumpah setengah ke atas meja. Aruna mengelap tumpahan susu bubuk dengan kain lap. Ia lalu duduk di kursi, menunggu air untuk mendidih sambil menepuk-nepuk sebelah pipinya pelan seolah menuggu dengan tidak sabar. Hingga air mendidih, ia baru bangkit. Lagi. Air tumpah mengenai meja. Walau memang tujuannya hanya untuk mengisi setengah gelas kecil air saja, cipratan air panas menetes hingga ke lantai dan mengenai kakinya. Panas tentu saja.

"Panas.... Panas..."

Aruna meletakan panci diatas meja. Ia mundur dan berjongkok dan mengusap-usap punggung kakinya yang terkena air panas. "Salah... Aruna-salah...."

Aruna kesal setiap ia berbuat kesalahan. Tapi walau begitu, ia tidak memperdulikan rasa sakit dan beralih mengambil sendok untuk mengaduk susu. Setelah susu ter-aduk sempurna ia kembali bergumam: "Harum.... Matcha... Aruna minum..."

Aruna membawa gelas itu degan benar menuju tempat duduk sebelumnya. Ia meletakan gelas diatas meja. Menunggu dengan sabar sampai susu matcha buatannya agak dingin sambil terus mengaduk dan meniupnya. Setelah cukup lama, baru Aruna berani menyeruput minuman itu.

"Enak-enak-enak-enak..."

Lihat selengkapnya