“Naeria! Jangan berenang terlalu dekat ke batas arus atas!” teriak Sorin, pelayan tua yang sudah seperti ayah sendiri baginya.
Gadis itu hanya menjawab dengan gelengan pelan dan terus mengambang di antara arus berkilau. Matanya menatap ke atas, ke permukaan laut yang memantulkan langit malam.
“Aku tidak akan naik,” gumam Naeria. “Aku hanya ingin tahu … apakah bintang di atas itu sungguh ada, atau hanya pantulan harapan yang tidak pernah bisa kugapai.”
Sorin mendesah, berenang mendekat. “Kau tahu betul, Naeria. Permukaan adalah batas. Kita tidak menyentuh langit, dan langit tidak menyentuh kita. Sudah hukum dunia.”
Naeria membalikkan badan. “Dan bagaimana dengan cinta? Apakah itu juga hukum dunia yang harus ditaati?”
Sorin terdiam.
Ia tahu maksud Naeria.
Putri laut itu pernah jatuh cinta atau hampir. Setiap kali hatinya bergetar pada seseorang, hanya butuh satu malam. Esok harinya, ingatan itu hilang. Nama-nama menguap. Wajah-wajah menjadi kosong.
Itu kutukan dalam darahnya. Dan belum ada yang bisa menyembuhkannya.
“Aku tidak ingin jatuh cinta,” lanjut Naeria pelan. “Tapi … kenapa rasanya seperti kesepian ini justru mendorongku mencarinya?”
Sorin ingin menjawab, tapi suara keras memecah permukaan laut.
DUARRR!
Kilatan petir menyambar langit, dan gelombang tiba-tiba menggulung ke bawah. Laut yang biasanya tenang berubah liar dalam sekejap. Naeria dan Sorin terseret arus kuat.
“Ada apa itu?!” Naeria memegang batu karang, matanya menatap ke atas.
Sesuatu atau seseorang jatuh dari langit. Menembus batas laut dan menghantam permukaan air dengan cahaya menyilaukan.
Tubuh itu melayang turun dan menghantam pasir laut tak jauh dari tempat mereka berdiri.
“Makhluk langit…” bisik Sorin ngeri.
Naeria melangkah maju, matanya terpaku pada sosok lelaki muda dengan pakaian yang terbuat dari serat cahaya. Cahaya dari tubuhnya mulai meredup, tapi wajahnya masih bersinar samar.
Pemuda itu tidak bergerak. Tapi dadanya naik turun perlahan.
Ia masih hidup.