Matahari belum sepenuhnya muncul di atas permukaan laut ketika Naeria kembali dari mengantarkan makanan untuk Auren. Tapi langkahnya langsung terhenti ketika melihat seekor belut pembawa pesan melingkar di depan pintu rumah karangnya.
Berwarna perak gelap, dengan mata hijau menyala dan simbol istana di punggungnya. Pesan ini tak pernah dikirim kecuali atas perintah langsung dari Ratu.
Naeria menatap gulungan kecil di mulut belut itu.
Jantungnya berdetak tak menentu.
“Naeria, kembali ke istana. Segera.”
—Ibumu.
Di Laut Dalam Meridiane, istana berdiri di antara reruntuhan terumbu purba dan akar leviathan yang membatu, seperti labirin cahaya dan bayangan. Setiap dindingnya bersinar dari kristal laut, tapi tetap menyimpan dingin yang menusuk.
Naeria menunduk hormat di hadapan ibunya.
Ratu Sirenya, seperti biasa, duduk di atas singgasananya dengan rambut mengalir lembut bagaikan aliran arus, mata perak yang tak pernah berkedip. Sorotnya seperti gelombang pasang yang tak pernah memperlihatkan kapan akan menghantam.
“Sudah berapa hari kau menampung makhluk itu?” tanya Ratu, tanpa basa-basi.
Naeria menahan diri. “Tiga.”
“Dan dalam tiga hari itu, kau tidak berpikir untuk melaporkannya?”
Naeria mengangkat wajahnya. “Dia tidak berbahaya.”
Ratu Sirenya berdiri perlahan. Arus air di sekitarnya mengikuti setiap gerak tubuhnya seperti tarian angin laut.
“Semua yang berasal dari langit pada awalnya tampak tidak berbahaya, Naeria,” katanya datar.
“Kau pikir kutukan yang mengalir dalam darah kita ini, karena aku mencintai monster?”
Naeria terdiam. Baru kali ini ibunya menyebut kutukan itu dengan gamblang.
“Dia kehilangan ingatannya,” lanjutnya. “Jika benar dia dari langit, bukankah seharusnya kita mencari tahu? Bukan menghakimi lebih dulu?”
“Apa kau tahu apa yang bisa dibawa oleh makhluk langit yang kehilangan arah?” desis Ratu.
“Mereka tak hanya membawa cahaya. Mereka membawa kebocoran. Ketidakseimbangan.”
Naeria menggenggam kedua tangannya erat.