Usai mendapat kecaman bertubi-tubi dari Jedra, Auren memilih patuh. Ia tak lagi menyasar-nyasar kedalaman laut yang tak semestinya dirinya datangi. Dan karena itu Auren jadi lebih banyak menghabiskan waktu bersama Naeria.
“Aku bisa bantu nyalakan cahaya di lorong itu.”
Auren menunjuk bagian terumbu rumah Naeria yang temaram. Sinar kristal lautnya sempat redup sejak semalam. Biasanya Naeria tidak peduli. Tapi Auren bersikeras.
“Kenapa kau terus ingin membantu?” tanya Naeria, separuh malas, separuh curiga.
Auren tersenyum. “Karena kalau aku hanya duduk, aku merasa seperti penumpang yang tak diinginkan.”
Naeria menghela napas. “Kau memang penumpang.”
Tapi ia tetap menyerahkan potongan karang kristal ke tangan Auren.
***
Di hari-hari berikutnya, Auren mulai menyatu dengan ritme kehidupan bawah laut. Meski kikuk, ia belajar cepat: Ia membantu menambal jaring ganggang. Membuatkan kalung dari kulit kerang kecil, walau terlalu besar dan bentuknya aneh. Sampai mengajak Naeria tertawa ... hal yang bahkan sahabat kecilnya tak pernah berhasil lakukan.
Suatu kali, mereka berenang melewati celah batu tempat ikan bulan tidur. Naeria memperhatikan diam-diam saat Auren menyentuh salah satu makhluk itu dengan lembut, seperti berbicara tanpa suara.
“Apa kau suka laut?” tanya Naeria tiba-tiba.
Auren tak langsung menjawab. Ia menatap langit yang terlihat samar dari permukaan air.
“Aku tidak tahu apakah aku suka laut. Tapi aku tahu … aku tidak ingin berada di tempat lain saat ini.”
Naeria tak menjawab. Tapi dadanya terasa lebih sesak dari biasanya.
***
Di malam selanjutnya, Naeria duduk sendiri, memandangi meja kecil tempat Auren biasa duduk menyusun tempurung kerang. Tumpukan kecil yang ia tata membentuk bentuk hati tak sempurna.
Naeria tersenyum kecil. Tapi tiba-tiba senyumnya memudar. “Tadi siang ... dia bilang apa ya soal ikan bulan?”