Angin laut atas berdesir pelan, membentuk pusaran lembut di permukaan. Naeria dan Auren duduk di bawah rongga besar karang berwarna tembaga, tempat yang biasanya sunyi dan jarang dilewati ikan-ikan besar.
Hari ini mereka tidak sedang bekerja. Tidak memperbaiki jaring, tidak menyusun kerang. Hanya duduk berdua, dalam diam yang perlahan tumbuh akrab.
“Di langit, kalian makan apa?” tanya Naeria akhirnya, berusaha memecah sepi.
Auren menatap langit yang samar terlihat dari dasar air. “Entahlah. Tapi aku punya bayangan soal buah. Rasanya manis sekali. Lembut. Mungkin seperti daging ubur-ubur manis yang kau kenalkan kemarin.”
Naeria sontak tertawa pelan mendengarnya. “Itu bukan daging ubur-ubur. Itu lidah angin. Ganggang langka yang hanya tumbuh saat bulan laut menggembung penuh.”
Auren ikut tertawa sambil menggaruk-garuk tengkuk, tampak kikuk. “Wah, ternyata aku salah lagi.”
“Tapi kau suka?”
“Suka,” balasnya tanpa berpikir. “Kau juga.”
Naeria terdiam sebentar. Barusan Auren bertanya ataub ... entahlah. ang jelas Naeria langsung mengangguk. Seperkian detik kemudian, tatapan mereka bersinggungan, lalu segera terpecah oleh suara gelembung dari atas kepala mereka.
Beberapa saat kemudian, Naeria mengajak Auren ke taman batu karang. Di sana, terdapat jajaran batu yang membentuk setengah lingkaran, seperti arena kecil.
“Tempat apa ini?” tanya Auren sambil mengedarkan pandangan.
“Tempat belajar kami waktu kecil. Belajar berenang cepat, memanggil arus, dan bernyanyi.”
“Wah, kau bisa bernyanyi?”
Naeria tersenyum tipis. “Setiap anak laut bisa. Suara kami adalah bagian dari arus.”
“Lalu kenapa kau tak pernah menyanyi di rumah? Maksudku, aku tak pernah mendengar kau bernyanyi sekalipun,” timpal Auren yang terlihat buru-buru meluruskan.
Naeria menoleh pelan, lalu pandangannya turun sembari mengembuskan napas kasar. “Karena sejak kecil aku diajari … suara bisa membawa cinta. Dan cinta bisa membuat ... lupa.”
Auren tidak membalas. Tapi dari cara melihat gadis itu menunduk pelan, dirinya tahu ada sesuatu yang disembunyikan. Namun Auren merasa terlalu dini jika harus menyodorkan beberapa pertanyaan untuk rasa penasarannya yang mungkin tak begitu penting.
Di kejauhan, Jedra berdiri setengah bersembunyi di balik ganggang lebat. Tatapannya tajam, tak berkedip.
Suara dalam pikirannya mulai berbisik.
“Putri mulai lembut.”
“Makhluk itu tak layak diberi ruang.”
“Kau tahu akhir dari kisah cinta terdahulu.”
Jedra mengepalkan tangan. Tapi ia tetap diam. Masih diam.