Malam menjelang lebih cepat dari biasanya. Dan tiga hari telah terlewati. Malam ini adalah malam terakhir bagi Auren di sini, pemuda itu harus segera pergi.
Angin laut yang masuk ke gua terasa dingin dan membawa ketegangan. Sorin telah pergi, pelayan tua itu mencoba menunda pasukan Jedra dengan alasan keamanan yang dibuat-buat. Tapi waktu tidak akan banyak lagi. Naeria tahu itu.
Ia berdiri sendirian di gua, di mana simbol tua itu kini bersinar samar. Tangannya menggenggam liontin ibunya yang tiba-tiba terasa hangat.
Lalu langkah kaki terdengar.
Auren.
Ia masuk dengan mata tajam, wajahnya basah karena berenang dari sisi luar karang.
“Naeria,” katanya pelan.
Naeria menoleh, sedikit mendongak untuk menatap pria gondrong bermata biru terang dihadapannya. “Kau harus pergi sekarang, Ren.”
“Tidak,” jawabnya tegas. “Ada yang harus aku katakan.”
Naeria ingin bicara, tapi Auren sudah melangkah lebih dekat. Matanya ... ada sesuatu yang berbeda. Tajam, familiar. Seolah sorot itu milik kehidupan lain.
“Aku telah ingat semuanya, Naeria.”
Suara Auren terdengar bergetar. “Alasan mengapa aku bisa terperosok ke dalam laut ini. Kota langit yang terbakar. Waktu yang terus berulang. Dan kau, yang selalu memilihku … bahkan ketika dunia menolak kita.”